(Pamungkas Para Nabi dan Rasul)
Muhammad berasal dari suku Quraisy. Beliau lahir pada 12 Rabi’ Al-Awwal 570 M. Nasab beliau bersambung ke lsmail bin lbrahim.
Leluhur beliau adalah penjaga Ka’bah. Mereka sangat terhormat sebab tak sembarang orang bisa menjadi penjaga Ka’bah, harus orang-orang pilihan. Salah seorang kakek beliau bernama Abdul Muthalib. la mewarisi kehormatan sebagai penjaga Ka’bah.
Nama ‘Abdul Muthalib semakin terkenal. Terutama, setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menemukan kembali sumur Zamzam. Waktu itu sumur Zamzam sempat hilang. Sekian lama tak diketahui karena tertimbun tanah.
Suatu ketika, ‘Abdul muthalib mengumbar janji. Jika punya sepuluh orang anak, ia akan mengorbankan menyembelih seorang di antaranya. Saat anak kesepuluh lahir, ia pun bermaksud menunaikan janjinya.
Maka, kemudian ia mengundi anak-anaknya. Yang terpilih yang akan dikorbankan. Alhasil, ‘Abdullah yang terpilih. Beberapa kali undian dilakukan hasilnya tetap nama ‘Abdullah yang keluar.
Rencana pengorbanan itu ditentang oleh orang-orang Quraisy, mereka menyarankan agar ‘Abdul Muthalib menemui seorang ahli nujum. Menurut ahli nujum, korban boleh diganti dengan unta. Syaratnya, unta dan ‘Abdullah tetap harus diundi.
Awalnya, sepuluh ekor unta yang dipertaruhkan. ‘Abdullah dan sepuluh ekor unta itu diundi. Namun, hasil undian tetap menunjukkan ‘Abdullah yang terpilih.
Jumlah unta ditambah sepuluh lagi, hasilnya tetap sama. Ditambah sepuluh lagi, tetap sama. Begitu seterusnya. Setelah jumlah unta mencapai seratus ekor, barulah unta yang terpilih dalam undian itu. Untuk lebih meyakinkan, undian diulang sampai tiga kali. Hasilnya, tetap unta yang terpilih, ‘Abdullah pun urung dikurbankan.
Tahun Gajah
Sebuah peristiwa besar terjdai menjelang kelahiran Muhammad. Ka’bah hendak dihancurkan. Pelakunya ialah Abrahah. Raja yang beragama Nasrani ini sangat kejam dan serakah.
Abrahah sangat berkuasa. Wilayah kerajaan Yaman semakin luas. Angkatan bersenjata kerajaan Yaman sangat kuat. Terutama divisi tentara bergajah yang sangat terkenal.
Namun, ada satu hal yang selalu mengganggu pikiran Abrahah. la merasa iri dengan kota Makkah. Semua orang berziarah ke sana, mereka beribadah di depan Ka’bah.
Lalu, Abrahah membangun Ka’bah baru di Yaman. Bangunan Ka’bah baru ini sangat megah. Harapan Abarahah, Ka’bah baru ini menjadi tujuan ibadah semua orang.
Akan tetapi, Ka’bah baru itu tetap sepi. Tidak ramai dikunjungi, hal ini membuat Abrahah geram, hatinya panas. la semakin tidak senang dengan keberadaan Ka’bah di Makkah. Sebab dari tahun ke tahun, semakin banyak saja yang berkunjung ke sana.
Maka, Abrahah punya rencana. la akan menyerang kota Makkah. Ka’bah yang ada di Makkah harus dihancurkan.
Tak tanggung-tanggung, pasukan bergajah dipersiapkan. Abrahah sendiri yang memimpin pasukan. Pasukan bergajah terus begerak. Jarak ke kota Makkah semakin dekat.
Tiba di Makkah, tentara Abrahah langsung beraksi, mereka menghancurkan rumah-rumah penduduk. Ternak-ternak dirampas. Banyak orang yang luka dan terbunuh. Penduduk lari tunggang langgang, mereka bersembuyi di gunung-gunung.
Kemudian, Abrahah mengirim seorang utusan. la menugasi hunata untuk menemui ‘Abdul muthalib. Saat itu ‘Abdul muthalib yang sudah berusia tujuh puluh tahun tidak gentar. la malah minta bertemu dengan Abrahah. la ingin berbicara langsung dengan Abrahah.
Hunata bersedia, ‘Abdul muthalib kemudian dibawa ke hadapan Abrahah. “Kenapa kau kemari, bukannya lari? tanya Abrahah dengan nada sinis.
“Unta-unta saya dijarah. Jumlahnya dua ratus ekor. Saya mau meminta kembali unta-unta itu,” jawab ‘Abdul muthalib tenang.
Berani benar orang ini pikir Abrahah, “Kau ini pengurus Ka’bah, bukan?”
“Benar.”
“Kenapa kau tidak memedulikan Ka’bah? Kau malah memikirkan unta-unta yang tak seberapa. Tujuanku ke Sini untuk menghancurkan Ka’bah.”
“Unta-unta itu milik saya. Oleh karena itu, saya harus menjaganya. Adapun Ka’bah, itu milik Allah. Allah yang akan menjaganya.”
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan. lntinya, Abrahah jangan mengganggu warga. Terserah kalau mereka mau menghancurkan Ka’bah.
‘Abdul muthalib pasrah. Tak bisa berbuat apa-apa. Abrahah terlalu kuat. melawan tentara bergajah sama saja dengan bunuh diri. ‘Abdul muthalib menyerahkan persoalan Ka’bah itu kepada Allah. Toh, Ka’bah adalah rumah Allah. Pasti Allah akan menjaganya.
Pasukan gajah lantas bergerak. Bleg! Bleg! Bleg! Kaki-kaki gajah menginjak bumi, diiringi sorak-sorai bala tentara Abrahah. Sorak-sorai tentara bergajah terdengar menakutkan, mereka semakin mendekat Ka’bah.
Dan terjadilah apa yang terjadi. Pasukan bergajah yang perkasa itu binasa. Sangat mengenaskan. Tubuh mereka seperti dedaunan digerogoti ulat. ltu terjadi setelah mereka dilempari batu batu yang panas terbakar. Batu-batu itu dilemparkan oleh segerombolan burung Ababil.
Kelahiran Manusia Agung
Saat kejadian itu, Abdullah, putra ‘Abdul muthalib telah beristri. lstri ‘Abdullah bernama Aminah. Keluarga Aminah sangat terpandang. la adalah putri Wahab bin ‘Abdu manaf.
Abdullah bekerja sebagai pedagang. Suatu hari, ia berpamitan kepada istrinya. la hendak berdagang ke Syria. Waktu itu Aminah sedang hamil. Kandungannya telah berusia sekitar enam bulan.
Ternyata, kepergian ‘Abdullah kali ini untuk selamanya. Dalam perjalanan pulang, ia jatuh sakit. Sakitnya semakin parah. Akhirnya, dalam usia 25 tahun ia mengembuskan napas yang terakhir. la wafat di madinah.
Harta warisan ‘Abdullah tidak terlalu banyak. la hanya meninggalkan lima ekor unta, sejumlah kambing, dan seorang budak perempuan. Budak perempuan ini bernama Ummu Aiman. Kelak ia termasuk salah seorang pengasuh Muhammad.
Tak lama setelah ‘Abdullah wafat, Muhammad lahir. Tepatnya 12 Rabi’ Al- Awwal 570 M. Tahun kelahiran beliau ini disebut Tahun Gajah. Sebab tahun itulah terjadi penyerbuan tentara bergajah pimpinan Abrahah.
Muhammad dilahirkan di rumah kakeknya, ‘Abaul Muthalib. Rumah kakeknya tak jauh dari Masjidil Haram. Bayi itu kemuaian dibawa ‘Abdul Mu¬thalib ke Ka’bah. Di sanalah, bayi mungil itu diberi nama Muhammad. Muhammad berarti orang yang terpuji.
Ditinggal Mati Ibu Tercinta
Muhammad tidak langsung disusui oleh Aminah. Selama beberapa hari, beliau disusui oleh Tsuwaiba. Setelah itu, disususi oleh Halimah. Halimah membawa Muhammad ke rumahnya di kampung Bani Sa’ad.
Tak terasa Muhammad sudah berumur lima tahun. Hati Halimah sangat sedih. Masalahnya, ia harus mengembalikan beliau kepada Aminah. Mau tidak mau Halimah harus menyerahkan kembali Muhammad kepada ibunya di Makkah.
Usia enam tahun, Muhammad diajak ibunya ke Madinah. Mereka hendak berziarah ke makam sang ayah, ‘Ab¬dullah. Perjalanan sangat jauh. Mereka harus menempuh jarak sekitar enam ratus kilometer. Ditemani Ummu Aiman, mereka berangkat bersama kafilah dagang yang menuju ke Syam.
Dalam per jalanan pulang, terjadi lagi musibah. Aminah jatuh sakit tak lama kemudian, Aminah meninggal dunia. Ketika itu rombongan Aminah baru sampai di Abwa, sekitar 37 kilometer dari Madinah.
Kini, Muhammad tak punya ayah dan ibu. Beliau menjadi yatim piatu. Sang kakek, ‘ Abdul Muthalib, kemudian mengurus beliau. ltu pun tidak lama. Saat beliau berumur delapan tahun, ‘Abdul Muthalib meninggal dunia.
Bersua Seorang Pendeta
Selanjutnya, Muhammad tinggal bersama Abu Thalib. Paman beliau ini adalah anak bungsu Abdul Muthalib. Abu Thalib punya banyak anak. Salah seorangnya ialah ‘Ali.
Abu Thalib juga bukan orang kaya. Meskipun demikian, Abu Thalib pandai mendidik anak. Keluarga Abu Thalib serba kekurangan. Hidup mereka paspasan. Oleh karena itu, Muhammad tidak tinggal diam. Beliau turut bekerja. Sehari-hari beliau menggembala kambing.
Muhahmmad tidak suka berfoya-foya, hari-harinya banyak digunakan untuk bekerja dan belajar. Banyak orang yang menyukai beliau. Sikap beliau sangat santun. Kata-katanya selalu sopan. Sayang kepada yang kecil. hor¬mat kepada besar. Sekali pun tak per¬nah berbohong. Bukan hal aneh kalau beliau mendapat sebutan AI-Amin – orang yang sangat tepercaya.
Muhammad sudah berusia dua belas tahun. Suatu ketika, beliau melihat Abu Thalib sedang sibuk. Sang paman hendak pergi berdagang. Jauh ke negeri Syam. Beliau tertarik ingin ikut
“Paman, boleh Ananda ikut!
“Jangan, Nak. Ananda masih kecil.
Perjalanan ke Syam sang at jauh. Nanti Ananda nggak kuat”
“Ananda ingin melihat negeri orang. Boleh, ya, Paman!”
“Paman tak melarang. Asalkan Ananda kuat berjalan jauh.”
“Siap, Paman. Beliau sangat senang. Senang karena bisa melihat negeri orang. Bisa menambah pengalaman.”
Kafilah dagang ke Syam sangat besar. Unta-unta berbaris penuh dengan muatan. Rombongan bergerak menuju ke arah Syam. Membawa banyak barang dagangan.
Perjalanan sangat berat, tidak hanya jauh, tapi cuaca juga sangat panas. Walaupun demikian, Muhammad tidak kepanasan, ada awan yang selalu menaungi beliau. Ke mana pun beliau pergi, awan itu selalu mengikuti. Mengherankan.
Di suatu tempat rombongan beristirahat. Tak jauh dari tempat itu, seseorang mengawasi. Keningnya berkerut heran, kok, ada awan yang selalu menaungi anak remaja itu. Pasti ia bukan anak sembarangan, pikirnya.
Orang itu merasa penasaran. la ingin tahu lebih jauh perihal anak remaja yang tadi dilihatnya. la pun merencanakan sesuatu. Tujuannya ingin mengorek keterangan lebih jauh. Kemudian, ia mengundang rombongan tersebut. Tentu saja, Abu Thalib merasa heran.
Kok, ada orang tak dikenal mengundang. Namun, ia tak menolak. Lagi pula, nggak ada salahnya datang. Toh, di sana pun hanya makan-makan.
“Silakan duduk. Tuan-tuan pasti lelah. Jangan sungkan. Anggap saja di rumah sendiri,” kata Si empunya rumah dengan ramah.
“Ehmmm … , kalau boleh tahu, Tuan ini siapa?” tanya Abu Thalib.
“Oo, iya, hampir lupa. Perkenalkan, nama saya Buhaira. Saya ini seorang pendeta Nasrani. Tuan-tuan silakan mencicipi hidangan ala kadarnya.”
Abu Thalib dan rombongan semakin heran. Pendeta ini begitu ramah. Padahal, mereka sama sekali tidak kenal. Mereka berbisik-bisik satu sama lain.
Saat itulah, Pendeta Buhaira menghampiri Muhammad.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Buhaira sopan.
“Saya Muhammad.”
“Ayahmu tinggal di mana?”
“Ayah sudah wafat.”
”Kalau ibu?”
“lbu juga sudah tiada.” “Kakek?”
“Kakek juga sudah meninggal dunia.”
Sekarang, saya tinggal bersama Paman, kata Muhammad seraya menunjuk kea rah Abu Thalib.”
“Terus, pekerjaanmu apa?”
“Penggembala kambing.”
Wajah Buhaira berubah. la semakin hormat. Yakin, Muhammad ini calon nabi besar. Tanda-tandanya sama persis dengan yang ada dalam kitab suci. Dugaannya memang benar. Anak ini bukan orang sembarangan. Pendeta Buhaira lantas menghampiri Abu Thalib.
“Tuan harus menjaga anak itu,” kata Buhaira sambil menunjuk Muhammad.
“Memang kenapa, tuan?”
“Anak itu bukan orang sembarangan. la calon nabi. Tuan harus berhati-hati. Jangan sampai ketahuan sama orang-¬orang Yahudi. Mereka akan membunuhnya. Sebaiknya Tuan cepat-cepat pulang.”
Sontak Abu Thalib terhenyak. Kaget dan gelisah. Kaget, ternyata keponakannya ini calon nabi. Gelisah karena khawatir akan keselamatan Muhammad. Perjalanan dilanjutkan. Rombongan tiba di Syam. Namun, Abu Thalib tak berlama-lama di Syam. la segera berkemas. lngin cepat-cepat pulang. Khawatir akan keselamatan Muhammad.
Mempersunting Khadijah
Muhammad tumbuh dewasa. Usia beliau sudah menginjak 25 tahun. Sudah saatnya bekerja Sendiri. Tersiar kabar bahwa seorang pengusaha membutuhkan seorang pegawai. Peluang ini sampai ke telinga Abu Thalib. Kesempatan tak disia-siakan. Abu Thalib tahu persis. Nama pengusaha tersebut ialah Khadijah. Seorang janda terkaya di Makkah. Khadijah menawarkan gaji dua ekor unta muda untuk pegawai itu.
Abu Thalib kemudian berbicara kepada Muhammad. la menyampaikan peluang itu kepada keponakannya. Gayung bersambut Muhammad pun setuju.
“Anakku,” suatu hari Abu Thalib memanggil keponakannya, “Pamanmu ini bukan orang kaya. Anak-anak Paman juga banyak. Beban hidup bertambah berat”
“Ya, Paman,” kata Muhammad singkat. Beliau juga tahu persis keadaan keluarga pamannya ini.
“Begini, Anakku. Paman dengar, Khadijah membutuhkan pegawai. Gajinya lumayan. Dua ekor unta muda. Paman akan berbicara dulu kepada Khadijah. Siapa tahu ia bisa memberikan upah lebih. Ananda ikut saja.”
“Terserah Paman,” jawab Muhammad
Segera Abu Thalib menemui Khadijah. la bermaksud melamar pekerjaan itu untuk keponakannya. Di sana, Abu Thalib beradu tawar. la minta gaji dinaikkan. Akhirnya, Khadijah sepakat Gaji ditambah menjadi empat ekor unta muda.
Muhammad memulai pekerjaan barunya. Sekarang, beliau memimpin kafilah dagang. Setelah mendapat nasihat dari pamannya, beliau berkemas. Beliau akan memimpin kafilah dagang ke Syam.
Muhammad berangkat Beliau dibantu oleh seorang budak perempuan. Budak Khadijah bernama Maisarah.
Kafilah dagang Muhammad menyusuri jalur perdagangan ke Syam. Mereka melewati wadil Qura, Madyan, dan Diar Thamud, dan daerah-daerah lainnya. Tempat-tempat itu tak terlalu asing bagi beliau. Sebab beliau pernah melaluinya saat ikut berdagang bersama Abu Thalib.
Kafilah dagang untung besar. Muhammad mendapat keuntungan yang sangat banyak. Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Selain keuntungan, beliau juga bisa bergaul dengan orang-orang dari berbagai bangsa. Beberapa kali, beliau sempat mengobrol dengan para pendeta Yahudi dan Nasrani.
Pemilik modal terkesan. Khadijah sangat senang. Keberhasilan Muhammad kian menambah kepercayaan Khadijah. Bukan karena kemampuan dagang beliau saja, melainkan juga karena kejujuran beliau. Maisarah yang menceritakan semua itu kepadanya.
Awalnya terkesan. Lalu, timbul perasaan suka. Lambat laun perasaan suka tumbuh berkembang. Akhirnya, bunga-bunga cinta mulai bersemi hati janda Khadijah terpikat Ia jatuh cinta kepada muhammad.
Dari Sisi usia, Khadijah lebih tua daripada muhammad. Usianya terpaut lima belas tahun dengan usia beliau. Ketika itu Khadijah sudah berusia empat puluh tahun. Sedangkan, beliau baru berusia 25 tahun.
Kendati sudah berumur, Khadijah masih cantik. Sikapnya lembut, tapi disegani orang-orang. masyarakat makkah memberinya sebutan Ath Thahirah-wanita suci.
Beberapa pemuka Quraisy pernah melamar Khadijah. Namun, tak satu pun yang diterima. Khadijah merasa cinta mereka tidak tulus. mereka melamar hanya karena hartanya.
Khadijah ingin curhat Lalu, suatu hari ia menemui Nufaisa. Kepada sahabatnya itu, ia mengungkapkan perasaannya kepada Muhammad. Nufaisa paham. Ia ingin membantu Khadijah. Namun, terlebih dulu ia harus bertemu dengan Muhammad. Ia juga harus mencari tahu. Bagaimana perasaan Muhammad kepada Khadijah.
Maka, suatu hari Nufaisa pergi. la menemui Muhammad. Tujuannya untuk mencari tahu tanggapan beliau.
“Kenapa Anda belum menikah!” tanya Nufaisa.
“Ehmmm … gimana, ya. Saya belum punya bekal. menikah itu, kan, perlu biaya besar,” jawab beliau.
“Bagaimana kalau ada yang menyukai Anda? Orangnya cantik. Punya banyak harta dan juga terhormat,,
“Kalau boleh tahu, siapa orangnya?”
“Khadijah.”
Deg! Jantung Muhammad berdebar.
Khadijah mencintainya? Padahal, sebelumnya banyak orang kaya yang melamar Khadijah. Tapi, semua lamaran itu ditolak. Sekarang Khadijah mencintainya. Bingung harus bagaimana. Sebenarnya, beliau juga suka kepada Khadijah.
“Tapi..terus bagaimana caranya?” tanya Muhammad.
“Nanti saya yang atur. Yang penting Anda setuju tidak?”
Muhammad menganggukkan kepala. Beliau setuju.
Nufaisah kembali kepada Khadijah.
Betapa senang hati Khadijah manakala mendengar berita menggembirakan itu. Ternyata, ia tak bertepuk sebelah ta ngan. Sekarang, tinggal mengatur waktu. Kapan bisa bertemu dengan keluarga Muhammad. Terutama untuk menentukan tanggal pernikahan.
Kedua pihak keluarga mendukung. Semua setuju. maka, pada hari yang telah disepakati, pernikahan pun berlangsung meriah. Maskawin sebanyak dua puluh ekor unta. Waktu itu paman Khadijah, Umar bin Asad, menjadi wali. Sebab ayah Khadijah, Khuwailid, telah wafat.
Selanjumya, Muhammad tinggal di rumah Khadijah. Lembaran hidup baru dimulai. Sebagai suami, Muhammad punya kewajiban baru, mengurus keluarga.
Muhammad dan Khadijah hidup bahagia. Keluarga mereka harmonis. Kendati sudah terbilang tua, Khadijah masih bisa memberikan keturunan. Khadijah melahirkan enam orang anak. Dua anak pertama, Gasim dan Abdullah meninggal saat masih kecil. Empat putri lainnya tumbuh hingga dewasa. mereka adalah Zainab, Rugaya, Ummi Khultum, dan Fatimah.
Detik-Detik Menjelang Wahyu Pertama
Roda kehidupan terus berputar. Yang dulu di bawah, kini di atas. Pun sebaliknya, dulu Muhammad seorang anak yatim. Hidup serba kekurangan. Sesuap nasi mesti didapat dengan kerja keras. Kini ia hidup lebih mapan. Tak kekurangan satu apa pun. Tapi, semua itu tak membuat Muhammad berubah. Apalagi, sombong. Muhammad selalu rendah hati. Beliau senantiasa menghargai orang lain. Akan tetapi, beliau tidak penah ikut dalam kebiasaan buruk orang-orang Quraisy. Beliau tak pernah menyembah berhala. Bahkan, beliau bertanya-tanya. Patung, kok, disembah-sembah. Patung-patung itu yang tidak bisa apa-apa. Jangankan memberi, diberi pun tak diapa-apakan.
Kala itu, di sekitar Ka’bah terdapat sekitar tiga ratusan berhala. Hubal adalah patung terbesar berupa seorang laki-laki. Patung Hubal terbuat dari batu akik. Patung-patung lainnya, antara lain Latta, Uzza, dan Manat.
Masyarakat Makkah begitu getol menyembah-nyembah mereka. Dibuat, dipajang, dan dipuja. Patung-patung sangat diagung-agungkan. Demikian bodoh masyarakat Makkah kala itu. Menganggap patung-patung yang tak bisa apa-apa sebagai tuhan.
Kejahiliahan masyarakat Makkah menggugah kesadaran Muhammad. Beliau tahu, tindakan mereka itu sesat, bahkan menyesatkan. Menyesatkan sebab mereka juga mengajak orang lain. Gilirannya, semakin banyak orang Makkah yang tersesat.
Masyarakat makkah memang jahiliah. Kenyataan itu mendorong Muhammad untuk berbuat sesuatu. Beliau ingin mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa menjadi penerang bagi umat manusia.
Kegelisahan Muhammad sampai terbawa mimpi. Suatu malam, beliau bermimpi melihat cahaya. Pancaran sinarnya demikian terang. Cahaya kebenaran yang menerangi jalan hidup umat manusia. Hati beliau semakin tergugah. Beliau semakin bersemangat untuk mencari kebenaran.
Kemudian, Muhammad mempunyai suatu rencana. Beliau ingin menyepi. Pergi keluar Makkah menjadi pilihan. Kesesatan masyarakat makkah membuatnya tidak betah. Beliau ingin bertafakur menjauhi segala hiruk-pikuk duniawi.
Dipilihnya Gua Hira. Gua itu berada di Jabal Nur. Letaknya sekitar enam kilometer sebelah utara Makkah. Di dalam gua itu, beliau menyendiri. Merenung mencari kebenaran. Berharap kiranya Tuhan berkenan menunjukinya ke jalan yang benar.
Rencana muhammad mendapat sokongan sang istri. Khadijah memang penuh pengertian. Segala kebutuhan beliau dipersiapkan. Setelah bekal habis, beliau pulang. Khadijah menyambut senang. Saat beliau kembali lagi ke Gua Hira, bekal sudah dipersiapkan. Beliau tinggal berangkat.
Penampakan Jibril
Saat itu bertepatan dengan 17 Ramadhan 610 H. Muhammad sedang khusyuk. Tiba-tiba, muncullah malaikat Jibril. Tanpa basa-basi langsung saja Jibril berkata, Iqra!Bacalah!”
Sontak Muhammad terperanjat. Sama sekali tak mengira akan ada yang datang.
“Sa… Sa.. saya ngga bisa baca,” jawabnya tergagap.
Mendengar jawaban itu, Jibril malah meraih tubuh muhammad. Jibril mendekap beliau dengan erat. Spontan beliau berusaha melepaskan diri. Sampai-sampai tubuh beliau terasa payah. Keringat deras mengucur. Akhirnya, Jibril melepaskan dekapannya.
“Iqra! Bacalah!”
“Saya nggak bisa baca.” Muhammad tambah gemetar.
Jibril kembali mendekap seraya berkata, “ Igra! Bacalah!”
Jawaban Muhammad tetap sama. “Saya nggak bisa baca.”
Akhirnya, Jibril berkata, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu itu Maha Pemurah. Yang mengajari manusia dengan perantaraan kalam. Mengajari manusia hal-hal yang tidak diketahuinya.” (QS Al- Alaq (96):1-5)
Bibir Muhammad bergerak-gerak. Beliau mengikuti bacaan Jibril. Seiring dengan kalimat terakhir yang diucapkan beliau, Jibril pun menghilang.
Perasaan takut masih membayangi pikiran Muhammad. Beliau belum sadar. Sesungguhnya, beliau telah dilantik menjadi nabi dan rasul.
Demikianlah, detik-detik bersejarah yang akan mengubah sejarah umat manusia. Tak lama lagi kebenaran akan tersiar ke seluruh dunia. Detik-detik itu pula yang menandai sebuah perjuangan telah dimulai. Perjuangan yang sarat dengan tantangan dan marabahaya.
Muhammad bingung. Hatinya masih diliputi ketakutan. Demikian berat kejadian yang baru dihadapinya itu. Hatinya dijejali banyak pertanyaan. Kejadian apa barusan itu? Siapa pula sosok tadi? Muncul tiba-tiba, hilang juga tiba-tiba? Aneh. Aneh.
Muhammad mengamati keadaan sekeliling. Nyaris sepi. Tak ada siapa-siapa. Tak ada suara yang terdengar. Cepat-cepat beliau keluar. Beliau pergi meninggalkan Gua Hira. Keheranan masih bertumpuk dalam benaknya.
Muhammad pulang. Tubuhnya menggigil. Padahal, cuaca sangat panas. Setelah menyusuri celah-celah gunung, akhirnya beliau sampai jua di rumah. Berbagai perasaan terus saja berkecamuk dalam hatinya.
Penjelasan Waraqah
Tiba di rumah, sang istri menyambut Muhammad langsung merebahkan diri. Tubuh masih menggigil. Keadaan itu membuat Khadijah keheranan. Tak biasanya ini terjadi. Ada apa dengan suaminya?
“Tolong selimuti aku! Selimuti aku!” pinta Muhammad dengan suara gemetar.
tanpa banyak cakap Khadijah mengantar suaminya ke tempat tidur. Muhammad direbahkan seraya diselimuti.
Khadijah begitu tenang meskipun hatinya juga risau. Khadijah merawat suaminya dengan penuh kasih sayang. Tiada hentinya ia menenangkan sang suami.
Berangsur –angsur perasan takut Muhammad mereda. Setelah tenang, beliau membeberkan semua kejadian yang baru dialaminya.
“Istriku, apa yang trejadi? Kenapa kanda harus harus mengalami kejadian berat ini?”
“Bersabarlah, suamiku. Kuatkanlah hati kanda. Menurut dinda, tuhan tidak akan menyakiti kanda. Kanda salalu berbuat baik. Tak pernah kanda menyakiti orang lain.”
Jawabab sang istri cukup menengkan Muhammad yang sedang galau. Hatinya mulai tenang. Kegelisahan dan ketakutan semakin berkurang.
Masalah ini tidak boleh dibiarkan, pikir khadijah. Segerah ia mendatangi rumah Waraqah bin Naufal. Paman Khadijah ini sudah berusia lanjut. Kedua matanya juga buta. Waraqah adalah seorang pemeluk nasrani yang saleh. Ia senatiasa menjalankan ajaran-ajaran nabi Isa dengan taat.
Khadijah kemudian bercerita. Semua kejadian yang dialami suaminya diungkapkan. Wajah waraqah tampak serius. Begitu khusyuk ia mendengarkan cerita keponakannya itu.
Tiba-tiba, Waraqah terhenyak. Wajahnya berubah. Pasalnya, Khadijah menceritakan ihwal kedatangan seseorang yag tak di kenal. Sosok itu mendatangi Muhammad di gua hira.
“Itu Jibril!pasti Jibril!”seru waraqh.
“Jibril yang juga pernag datang kepada para nabi sebelumnya. Muhammad telah menjadi nabi. Aku yakin, Muhammad adalah nabi yang diceritakan dalam Injil itu.”
Sesaat, Waraqah berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam seraya mengeluarkannya. Wajahnya tampak lebih serius lagi.
“Andai aku belum setua ini,” lanjut waraqah. “Andai aku masih muda. Andai aku berumur panjang. Aku pasti membela Muhammad. Orang-orang Makkah akan menyakiti dan mengusirnya.”
“Benarkah orang-orang akan mengusirnya?”tanya Khadijah heran.
“Betul,”tegas waraqah. “Semua nabi pasti dimusuhi. Seandainya aku masih hidup saat itu, aku akan membela sekuat tenaga. Aku akan menolong muhammad sekemampuanku.”
di usianya yang keempat puluh, Muhammad resmi menjadi nabi dan rasul. Tugas berat sudah di depan mata. Berbagai tantangan siap menghadang keturunan Bani Hasyim ini.
Di Awal-awal Dakwah
Khadijah pulang. Muhammad masih di pembaringan. Tubuhnya berkemul selimut. Beliau masih pulas. Khadijah menatap wajah suaminya dalam-dalam. Kasih sayang dan ketulusan terpancar dari matanya.
Saat masih tidur itu, tiba-tiba tubuh Muhammad menggigil. Napasnya tersengal-sengal. Keringat membasahi tubuhnya. Beberapa saat kemudian, beliau terbangun.
Ternyata, Jibril datang lagi. Wahyu kedua pun disampaikan. Wahai orang yang berselimut! Bangun, dan sampaikanlah peringtan. Agungkan Tuhanmu. sucikan pakaianmu. Jauhi pebuatan dosa. Janganlah kau memberi karena berharap lebih. Dan demi Tuhanmu, bersabarlah. (QS Al-Muddatstsir (74):1-7)
Wajah Muhammad terlihat pucat. Beliau sangat gelisah. Keringat membasahi tubuh. Pakaiannya basah. Hati be¬liau sangat gamang meskipun Khadijah telah menceritakan penjelasan Waraqah tadi.
Muhammad baru yakin setelah bertemu langsung dengan Waraqah. Ketika itu beliau hendak tawaf mengelilingi Ka’bah. Di sanalah Waraqah meyakinkan beliau.
“Demi Dzat yang menggenggam hidup Waraqah, Tuan adalah seorang nabi. Tuan telah bersua dengan Jibril, hal yang sama juga penah dialami Nabi Musa tempo dulu. Tuan mesti waspada. Akan ada banyak orang yang tidak suka. Tuan akan didustakan, disakiti, diusir, dan diperangi. Andai saat itu aku masih hidup, aku akan membela Tuan.”
Denjelasan Waraqah cukup meyakinkan Muhammad. Namun, kemudian masalah muncul. Jibril tak datang lagi. Cukup lama hal ini membuat Muhammad gelisah. Jangan-jangan Tuhan membencmya. Atau jangan-jangan Tuhan telah meninggalkannya.
Di saat-saat gundah itu, turunlah su¬rah Al-Dhuha. lsinya menegaskan bahwa Allah tidak meninggalkan Muhammad, juga tidak membencinya.
Suatu hari, Muhammad dan Khadijah tengah beribadah. Tiba-tiba, Ali masuk. Saat itu, mereka tengah membaca beberapa ayat Al-Quran. Melihat itu Ali tercenung. “Kalian sedang apa?” tanya Ali penuh
keheranan.
“Kami sedang beribadah?” jawab Muhammad.
“Beribadah kepada siapa?”
“Kepada Allah. Allah yang mengutusku menjadi nabi dan rasul. Allah yang menyuruhku mengajak seluruh umat manusia beribadah kepada-Nya.”
Lama sepupu Muhammad itu merenung. Ayat-ayat Al-Quran begitu mempesona. Baru kali ini, ia mendengar semua itu. Serta-merta pikiran Ali buyar. Ali tersadar setelah Muhammad mengajaknya masuk lslam.
Ali tidak langsung menerima. la meminta waktu untuk berpikir dulu. Namun, malam harinya Ali tak bisa
memejamkan mata. Pikirannya terus teringat kepada ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Muhammad. Maka, keesokan harinya Ali menyatakan diri masuk Islam.
Setelah ‘Ali masuk lslam, menyusul Zaid bin Haritsah. Zaid yang bekas budak Muhammad itu menyatakan diri masuk Islam. Dakwah pun dimulai Masuk sembunyi-sembunyi, masalahnya orang-orang Quraisy itu keras kepala. Mereka sangat setia kepada berhala. Mereka akan sangat marah kalau berhala-berhala itu dicemooh.
Dakwah dimulai dari keluarga dan sahabat dekat. Tak lama sesudah itu Muhammad mengajak sahabatnya, Abu Bakar. Pemuka Kaum Taim ini sudah lama mengenal Muhammad. la percaya betul akan kejujuran Muhammad. Maka, tanpa menunda-nunda lagi Abu Bakar pun memeluk Islam, dakwah terus berkembang. Abu Bakar berhasil mengajak beberapa orang. Mereka antara lain Usman bin ‘Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Talhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Bilal.
Tiga tahun dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Persoalan muncul setelah ada perintah dakwah secara terbuka. Allah memerintahkan Muhammad untuk mengajak keluarga terdekat secara terang-terangan.
Dakwah terbuka dilakukan. Suatu hari Muhammad berdiri di Bukit Shafa. Di sana, beliau menyerukan dakwahnya.
“Hai, Orang-orang Quraisy!” seru Muhammad.
Seruan itu mengundang perhatian. Orang-orang pun berdatangan.
“Jika kuberitahukan di bukit ini ada tentara musuh, apa saudara-saudara percaya?
“Kami percaya. Kau orang jujur. Nggak pernah bohong,” sahut mereka.
“Kalau begitu, berimanlah hai Bani ‘Abdul Muthalib, Bani ‘Abdul Manaf, Bani Zuhra, Bani Makhzum, dan Bani Asad. lkrarkan La ilaha illallah. Jangan tunggu azab datang.”
Orang-orang melongo. Ada apa dengan Muhammad? Tiba-tiba berdirilah seseorang bertubuh tambun. Dia adalah Abu Lahab, paman Muhammad sendiri.
“Celakalah kau! Hanya untuk inikah kau kumpulkan kami?” Sebagai jawaban, Allah menurunkan surah Al-Lahab. lsinya menegaskan bahwa justru Abu Lahab yang celaka. Muhammad terus menyiarkan lslam.
Beliau menyeru orang-orang untuk meninggalkan berhala. Mengajak berbuat baik kepada sesama. Secara terbuka beliau mengecam penyembahan berhala. lnilah yang kemudian membuat para pemuka Quraisy tersinggung.
Para sesepuh Quraisy itu sangat marah. Beberapa kali mereka mendatangi Abu Thalib. Meminta supaya Abu Thalib menghentikan dakwah keponakannya itu.
Mereka bahkan menawarkan seorang pemuda tampan, ‘Umara bin Al Walid. Abu Thalib dipersilakan untuk memungutnya sebagai anak. Syaratnya, Muhammad harus diserahkan.
Terang tawaran itu ditolak. Bahkan, Abu Thalib sempat mendamprat. Masa Muhammad ditukar untuk dibunuh. Sedangkan, penggantinya, ‘Umara, harus diurus.
Namun, keinginan para pemuka Quraisy itu disampaikan juga kepada Muhammad. Beliau bersikeras. Dakwah tak mungkin dicegah.
“Paman, demi Allah, Ananda tidak akan menghentikan dakwah ini. Bahkan, sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku. Ananda akan terus berdakwah. Taruhannya menang atau mati.”
Siksaan Demi Siksaan
Abu Thalib tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mau tak mau ia harus melindungi keponakannya itu. Tak mungkin ia menyerahkan Muhammad. Apalagi, untuk dibunuh.
Ketegangan kian memuncak. Kekerasan semakin menjadi-jadi. Siksaan demi siksaan dialami orang-orang Muslim. Sa’ad bin Abi Waqas dipukuli Abu Jahal dan kawan-kawan. Bilal disiksa supaya meninggalkan lslam. la dicambuki oleh tuannya, Umayah. Tak hanya itu, ia diikat dan telentang di tengah terik padang pasir. Perut dan dadanya ditindih batu besar.
“Ahad … , ahad (Yang Esa … , Yang Esa),” ujar Bilal. Keteguhannya sangat luar biasa. Padahal, keadaannya sudah sangat parah. Sampai kemudian Abu Bakar datang. la membeli dan membebaskan Bilal.
Muhammad juga tak luput dari gangguan. Abu Jahal melempari beliau dengan isi kotoran perut kambing yang baru disembelih.lstri Abu Jahal tak mau ketinggalan. la melemparkan kotoran hewan ke rumah Muhammad.
Suatu ketika, Abu Jahal memaki-maki Muhammad. Makian ini terdengar oleh Hamzah. Selepas berburu, paman yang juga saudara sesusu Muhammad ini menyatroni Abu Jahal. Saat itu, Abu Jahal berada di dekat Ka’bah. Hamzah langsung menghantamnya dengan busur panah.
Setelah itu, Hamzah mendatangi Muhammad. Di hadapan beliau, ia mengikrarkan keislamannya. Keislaman Hamzah segera tersiar. Hal ini membuat banyak musuh menjadi gentar. Maklum, Hamzah ini dianggap sebagai jagoan.
Siksaan demi siksaan terus berdatangan. Bahkan, semakin meningkat Muhammad menyusun rencana. Bagaimanapun beliau harus melindungi para pengikutnya.
Maka, suatu hari beliau menyarankan agar beberapa dari mereka berhijrah. Habsyi menjadi pilihan. Pertimbangannya, Raja Najasyi dikenal sebagai seorang Nasrani yang saleh. Maka, berangkatlah sebelas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka pergi berpencar.
Menyangka keadaan sudah aman, orang-orang yang berhijrah itu pun pulang. Namun, ternyata gangguan malah kian meningkat Siksaan terus berlangsung. Hal ini memaksa kaum Muslimin kembali Hijrah ke Habsyi. Kali ini berangkat sebanyak delapan puluh orang pria. Rombongan terus tinggal di sana sampai Muhammad berhijrah ke Madinah.
Kaum Quraisy tak mau kecolongan. Diutuslah ‘Amer bin Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rab’. Mereka meminta Raja Najasyi untuk mengusir orang-orang Muslim.
Raja Najasyi sangat bijak. Raja tidak begitu saja membuat keputusan. Raja lantas mengumpulkan orang-orang Muslim. Raja meminta penjelasan mereka.
Ja’far bin Abi Thalib tampil menjelaskan. Penjelasan Ja’far sangat memi¬at Ja’far berhasil meyakinkan raja. Terlebih lagi setelah Ja’far melantunkan surah Maryam. Raja semakin percaya. Dan bahkan berjanji akan tetap melindungi orang-orang Muslim.
Peristiwa heboh terjadi di Makkah.
Ketika itu Muhammad, Hamzah, Abu Bakar, ‘ Ali, dan beberapa sahabat lainnya tengah berkumpul di rumah Arqam. Terbetik kabar ‘Umar bin Khaththab sedang menuju ke sana. Pedang terhunus. Tujuannya hendak membunuh Mu¬hammad.
Namun, di perjalanan ‘Umar bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah. Nu’aim mengatakan agar ‘Umar tidak terburu-buru. Sebab Bani ‘Abdul manaf akan menuntut balas bila Muhammad tewas. Nu’aim menyarankan agar ‘Umar menyelesaikan persoalan di keluarganya sendiri masalahnya, Fathimah, adik ‘Umar, dan Sa’id bin Zaid, suami Fathimah, telah memeluk lslam.
Urung ‘Umar menyatroni rumah Arqam. la kembali. Yang dituju adalah rumah Fathimah. ‘Umar langsung melabrak rumah adiknya. Sa’id berusaha menghalangi. Tetapi, ia dipukul sampai berdarah.
Kemarahan ‘Umar mereda. Ketika itu Fathimah sedang melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Alunan ayat-ayat Al-Quran meluruhkan hati ‘Umar.
Kemudian, ‘Umar menemui Muhammad. Kali ini bukan untuk membunuh beliau. ‘Umar hendak berikrar masuk lslam. Maka, di hadapan beliau, ‘Umar membacakan dua kalimat syahadat.
Sebenarnya masih banyak para pemuka Quraisy yang tertarik dengan Al-Quran. Sebut saja di antaranya Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Akhnas bin Syariq. Mereka pernah dipergoki mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang sedang dibacakan Muhammad. Sayangnya, mereka tidak mau memeluk lslam, meskipun hati kecil mereka mengakui kebenaran Muhammad, mereka lebih mengedepankan gengsi.
Isra’-Mi’raj yang Menggemparkan
Dakwah terus berlanjut. Gangguan pun terus berdatangan. Sangat beruntung Muhammad punya istri Khadijah. Dengan sabar, Khadijah membantu perjuangan beliau. Sampai-sampai kekayaannya pun habis.
Tekanan semakin keras. Tiga tahun orang-orang muslim diembargo. Kaum muslimin tinggal di daerah perbukitan.
Tak boleh ada hubungan dengan masyarakat luar. Akibamya, mereka mengalami kekurangan makanan. mereka bertahan hidup dengan memakan rerumputan dan dedaunan.
Masalah tidak berhenti sampai di situ, musibah lain muncul. Abu Thalib meninggal dunia, Muhammad sangat berduka. Paman yang telah memeliharanya sejak kecil. Paman yang selalu melindunginya, kini telah tiada. Betapa hati Muhammad sangat berduka.
Selang beberapa bulan kemudian, Khadijah wafat. lstri setia telah tiada. Kini muhammad tak punya penghibur hati di kala sedih. Tak ada teman berbagi di kala suka. Hati Muhammad diliputi duka mendalam.
Abu Thalib dan Khadijah telah tiada. Muhammad kehilangan pembela. Kesempatan itu tak disia-siakan Pihak kafirin Quraisy. Mereka semakin gencar mengganggu. Mereka semakin berani. Gangguan demi gangguan semakin sering dialami Muhammad.
Muhammad tidak tinggal diam. Beliau berangkat ke Tha’if. Barangkali masyarakat Tha’if bersedia mendengar seruannya. Beliau pergi seorang diri. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Jangankan mendapat sambutan. Yang ada malah cemoohan dan lemparan batu.
Kesedihan Muhammad sedikit terhibur. Sekitar tahun 621 Masehi, beliau menjalani lsra’-Mi’raj. Kala itu beliau menginap di rumah keluarga Hindun binti Abi Thalib. Hindun yang sering dipanggil Ummu Hani ini adalah sepupu beliau.
Pagi harinya, Muhammad menceritakan peristiwa semalam. Tentu saja, Hindun terperangah. Sungguh luar biasa. Hanya dalam tempo semalam beliau bisa pergi ke Baitul Maqdis di Palestina. Dari Baitul Maqdis lantas naik ke langit ketujuh, terus ke Sidratul Muntaha. Dari sana beliau pulang lagi ke Makkah.
Bayangkan, perjalanan lsra’-Mi’raj itu sangat jauh. Jaraknya bisa mencapai jutaan tahun cahaya. Kecepatan cahaya sama dengan 300.000 km/ detik. Memang luar biasa. Peristiwa lsra’-Mi’raj ini hanya bisa dipahami dengan keimanan. Akal tak bisa menjangkaunya.
Lalu, setelah rasa kagetnya hilang, Hindun mewanti-wanti Muhammad. Jangan sampai beliau menceritakan kejadian itu. Khawatir akan dicemooh.
Muhammad tetap menceritakan peristiwa lsra’-Mi’raj itu. Dan sebagaimana sudah diduga, kegemparan pun terjadi. Orang-orang Quraisy demikian heboh. Macam-macam penilaian mereka. Termasuk banyak pula yang menyebut Muhammad sudah tidak waras.
Oleh-oleh lsra’-Mi’raj ialah shalat lima waktu. Perjalanan lsra’ –Mi’raj juga menjadi bahan bakar baru bagi beliau. Semangat dakwah kian berkobar. Semangat juang semakin menyala.
Hijrah Bukan Menyerah
Peristiwa hijrah sangat penting dalam sejarah perjuangan Muhammad. Gagasan hijrah sangat cemerlang. Di saat gangguan semakin meningkat, beliau membuat satu keputusan cerdas. Beliau berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Diam-diam sejumlah orang muslim pergi ke Madinah. Awalnya keberangkatan mereka tak terlalu dihiraukan. Perhatian kaum Quraisy masih tertuju kepada Muhammad. Yang penting beliau tidak keluar dari Makkah.
Tibalah giliran Muhammad. Beliau sudah bersiap-siap untuk hijrah. Rencananya beliau akan ditemani Abu Bakar. Dua ekor unta telah dipersiapkan, mereka berdua akan berangkat ke Madinah secara sembunyi-sembunyi.
Waktu keberangkatan menunggu saat yang tepat masalahnyal orang-orang Quraisy semakin ketat mengawasi. Setiap saat mereka memata-matai rumah beliau. Sesekali mereka mengintip ke dalam rumah memastikan keberadaan beliau.
Terlihat muhammad masih berbaring.
Namun yang berbaring itu sebenarnya ‘Ali. Muhammad menyuruh ‘Ali memakai mantel hijau beliau. ‘Ali kemudian disuruh tidur di tempat tidur beliau. Semua itu terjadi tanpa sepengetahuan orang-orang Quraisy.
Orang-orang Quraisy mengira Muhammad masih tidur. Keesokan harinya mereka mulai beraksi. Beberapa orang mendobrak pintu rumah. Betapa terkejut mereka. Ternyata di dalam rumah hanya ada ‘Ali, Muhammad telah pergi mereka kecolongan.
Yang terjadi malam itu Muhammad menyelinap. Beliau keluar rumah melalui pintu belakang. Di suatu tempat Abu Bakar sudah menunggu. Keduanya berjalan mengendap-endap dalam kegelapan malam. Mereka berangkat menuju ke Gua Tsur.
Pilihan Gua Tsur sangatlah tepat, orang-orang Quraisy pasti mengira Muhammad menuju ke utara. Sebab Madinah terletak di utara Makkah, mereka jelas terkecoh. Sebab Muhammad menuju ke selatan.
Muhammad dan Abu Bakar tetap waspada. Di tempat persembunyian mereka tetap mendapat informasi ihwal pihak musuh. Mereka menugasi ‘Abdullah putra Abu Bakar, untuk mencari informasi.
Setiap malam, ‘Abdullah yang masih tinggal di Makkah datang ke Gua Tsur. Setiap kejadian di Makkah selalu dilaporkan kepada Muhammad. Tak ketinggalan ‘Abdulah juga membawa makanan. Pagi harinya ‘Amir bin Fuhairal pembantu Abu Bakar, menghapus jejak ‘Abdullah.
Tiga malam Muhammad dan Abu Bakar tinggal di Gua Tsur. Sejumlah pemuda Quraisy sudah mengendus keberadaan mereka. Kemudian, para pemuda Quraisy itu mendatangi tempat persembunyian mereka.
Akhirnya, para pemuda kafir itu sampai di mulut gua. Abu Bakar gemetar. Takut ketahuan. Wajahnya tampak bersedih. Terbayang apa yang akan terjadi bila persembunyian itu diketahui.
“Jangan bersedih. Allah beserta kita,” hibur Muhammad. “Kita tidak berdua. Ada Allah bersama kita.”
Orang-orang Quraisy meninggalkan gua, mereka tak jadi masuk. Pasalnya, mereka melihat sarang laba-laba dan burung merpati mengerami telur di mulut gua. Kesimpulan mereka, Muhammad dan Abu Bakar tak mungkin bersembunyi di dalam.
Setelah aman, ‘Abdullah bin Uraiqiz membawa mereka keluar. Rombongan menuju ke barat. mereka berputar ke arah Tihama dekat Laut Merah. Sengaja memilih jalan yang paling jarang dilewati manusia. Setelah itu barulah mereka berbelok ke utara ke arah Madinah.
Siang malam rombongan Muhammad terus berjalan. Beberapa hari kemudian, rombongan memasuki Quba. Beliau singgah di sana selama empat hari. Di sana beliau membangun sebuah masjid.
Rombongan melanjutkan perjalanan, mereka menuju ke kota. Warga Madinah menyambut kedatangan Muhammad dengan meriah, masyarakat setempat tumpah ruah, mereka ingin melihat sosok Muhammad. Bacaan shalawat dikumandangkan. Kedatangan Muhammad mendapat sambutan luar biasa.
Rombongan tiba di kota. Orang-orang saling berebut, masing-masing menawarkan tempat tinggal kepada Muhammad. Tak mungkin semua tawaran diterima. Oleh karena itu, Muhammad menyerahkan kepada untanya. Di mana untanya berhenti, di sana beliau akan tinggal.
Unta berjalan. Beberapa saat kemudian, unta berhenti. Ternyata itu adalah tempat penjemuran kurma. Tempat itu kepunyaan dua orang yatim dari Bani Najjar. Mereka adalah Sahal dan Suhail.
Tempat itu kemudian dibeli. Lalu, dibangunlah sebuah masjid. Kelak, masjid Nabawi ini menjadi pusat dakwah lslam. Muhammad hanya membangun sebuah ruangan kecil di sisi masjid itu untuk keluarganya. Selama pembangunan itu, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid.
Masa-Masa Awal di Madinah
Hari-hari pertama di Madinah tidaklah mudah, masalah bermunculan. Namun, ada satu masalah yang mendesak dituntaskan. Kaum muhajirin tidak mempunyai tempat tinggal. Untuk makan pun susah.
Sebuah gagasan cemerlang lahir, Muhammad mempersaudarakan umat lslam tanpa memandang asal-usul. Muhammad mempersaudarakan Hamzah dengan Zaidi Abu Bakar dengan Kharija bin Zaidi, Umar dengan lthban bin Malik. Cara ini terbukti berhasil.
Ketika itu ‘Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan Salad bin Rabi. Salad adalah seorang Ansar. Salad bermaksud memberikan separuh hartanya kepada ‘Abdurrahman. Dengan halus tawaran itu ditolak. ‘Abdurrahman lantas minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sana, ia berdagang. Walhasil, ‘Abdurrahman sukses menjadi saudagar.
Di Madinah pula berbagai ibadah diajarkan. Shalat, saum, zakat mulai dijalankan dengan tenang. Muhammad menyerukan pentingnya shalat berjamaah. Penting sebab di masjid Nabawi orang-orang muslim berkumpul, mereka berdiskusi. Banyak persoalan umat dituntaskan.
Muhammad mengajarkan kerja keras. Beliau sangat mengecam sikap malas, terlebih lagi meminta-minta. Beliau menegaskan, tangan di atas–yang memberi–itu lebih baik ketimbang tangan di bawah–yang menerima.
Madinah berkembang pesat, tidak hanya dari segi perekonomian. Tetapi juga, dari segi akhlak. Semua orang berlaku santun. Satu sama lain saling menghormati, Muhammad juga menanamkan hubungan antartetangga yang baik. Saling membantu tanpa memandang suku.
Umat lslam semakin kuat di Madinah.Perekonomian mereka semakin mapan. Keberadaan mereka mulai diperhitungkan. Keadaan ini tentu harus terus ditingkatkan. Kemudian, Muhammad membangun kekuatan tentara.
Pembebasan Makkah
Berawal dari perjanjian Hudaibiah yang dilanggar, pasukan muslimin kemudian digelar. Jumlahnya sangat besar.
Dasukan Muhammad berangkat mereka bergerak cepat melintasi padang pasir. Tujuannya membebaskan kota Makkah.
Sampai di Dzi Tuwa pasukan berhenti. Tak ada perlawanan dari pihak orang orang kafir Quraisy. Nyali mereka kecut melihat jumlah pasukan Muhammad yang sangat besar.
Pasukan Muhammad bergerak memasuki Makkah dari Bukit Hind. Beliau berhenti sebentar, mata beliau memandang ke seluruh penjuru Makkah.
Pasukan Muhammad memasuki kota Makkah. Tak ada perlawanan yang berarti. Tak setetes pun darah tertumpah. Serbuan pasukan muslimin nyaris tak mendapat halangan yang berarti. Tiba di Makkah beliau segera menuju ke Ka’bah. Beliau menaiki untanya yang bernama Al-Qashwa.
Sesampai di Ka’bah, beliau tawaf tujuh kali. Usai tawaf disentuhnya hajar aswad. Kemudian beliau meminta Utsman bin Talhah membukakan pintu Ka’bah. Di pintu Ka’bah beliau berdiri. Orang-orang pun berdatangan. Beliau lantas menyampaikan khutbah. Di penghujung khutbah beliau berseru lantang.
“Hai orang-orang Qurais, tindakan apa yang akan kuambil terhadap kalian?”
“Kami mohon yang baik-baik saja. Tuan seorang pemurah.”
“Pergilah sekarang kalian bebas. ” Sungguh di luar dugaan. Orang-orang Quraisy yang tadinya waswas kini merasa senang. Ternyata, mereka tidak mendapat hukuman. Mereka malah mendapat pengampunan.
Sungguh akhlak yang agung, Muhammad tidak menjatuhkan hukuman padahal mampu. Beliau pun tahu siapa-siapa yang sangat memusuhinya. Namun beliau tak membalas dendam.
Selanjutnya Muhammad menyuruh beberapa orang untuk membersihkan Ka’bah. Patung-patung dihancurkan. Tak ada lagi Hubal, Latta, dan semacamnya. Kebenaran telah datang dan kebatilan telah hilang.
Bilal kemudian berdiri. Azan pun berkumandang. Haru biru merayapi hati orang-orang muslim. Tetes air mata tak terasa. Kebahagiaan begitu membuncah-buncah.
Wafat Meninggalkan Dua Wasiat
Tak ada yang abadi. Semua manusia pasti mati. Pun seorang nabi, Muhammad hanyalah seorang manusia. Suatu ketika beliau jatuh sakit Sakit muhammad bertambah parah.
Akan tetapi beliau masih tetap menjalankan kegiatannya. Bahkan beliau masih sempat bercanda dengan istrinya Aisyah. Suatu hari sakit Muhammad mencapai puncaknya. Demam beliau semakin
parah. Ketika itu beliau berada di rumah Maimunah. Beliau tak berdaya. Tubuhnya terbaring lemah. Beliau minta dipindahkan ke rumah Aisyah. Beliau minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya. Jumlahnya hanya tujuh dinar. Beliau tak ingin wafat dengan meninggalkan kekayaan meskipun hanya tujuh dinar.
Demam muhammad agak mereda. Beliau hendak shalat berjamaah. ‘Ali dan Fadzil memapah beliau. Abu Bakar, yang saat itu menjadi imam, mundur. Hatinya tak kuasa mengimami beliau. Akan tetapi, beliau mendorong Abu Bakar agar terus menjadi imam. Beliau shalat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Musim panas, kira-kira 8 Juni 632 masehi, Muhammad wafat di pangkuan ‘Aisyah. Beliau berpulang ke rahmatullah.
Berita wafatnya Muhammad sempat mengguncang umat. Sampai-sampai Umar mengeluarkan ancaman. la akan memenggal siapa pun yang berani mengatakan Muhammad wafat.
Keadaan baru mereda setelah Abu Bakar mengingatkan semua orang. la membacakan surah Ali lmran ayat 144: Muhammad hanyalah seorang rasul seperti rasul-rasul terdahulu. Apakah jika beliau Wafat atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad) …
Dua puluh tiga tahun muhammad menjadi nabi dan rasul. Beliau wafat tak meninggalkan kekayaan. Tujuh dinar pun sudah beliau sedekahkan, hanya dua yang beliau tinggalkan, Al-Quran dan As-Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar