Keadaan Geografis
Pada tahun 1949 kota Pangkalan Bun masih dikenal sebagai ibu kota dari daerah Swapraja, Kotawaringin, atau dalam bahasa Belanda disebut Landschap. Daearah ini berdasarkan zelkbestuursregenden 1983 dan dalam IS 1946 – 27, telah diberikan hak demokrasi. Sehingga raja atau sultan telah membuat Dewan Perwakilan yang turut membuat undang-undang atau disebut juga dengan Dewan Penasehat.
Negara Indonesia serikat berdiri sejak penyerahan kedaulatan pada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, sesudah diadakan Konferensi Menja Bundar di Ridderzaal ‘Sgravenhage (Netherland) atara kerajaan Netherland, pemerintah Indonesia dan pertemuan untuk permusyawaratan federasi (Bijeenkomst Voor Federal Overleg, yang lazim disebut B.F.O), seperti yang dimaksud dalam induk peresetujuan yang bersangkutan dan terbentuk undang-undang (Kerajaan Belanda) tentang penyerahan kedaulatan Indonesia tanggal 21 Desember 1949 (N.S) 1949 – J 570;L.N. 1950 – 2, yang mulai berlaku pada tanggal 22 Desember 1949. (Irawan Soejito,1984 : 155 – 156).
Setelah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia diakui dunia Internasional akhir maret1950, Landschaap Kotawaringin dengan LN RIS – 16 jo BNRIS 1950 – 23 masuk kedalam Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950, tetapi statusnya sebagai Landscap masih terus berlangsung. Setelah resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia, Swapraja Kotawaringin berada di bawah Kabupaten Kotawaringin yang telah berdiri sejak 27 Desember 1949 dengan ibu kotanya Sampit.
Sebagai daerah Swapraja, Kotawaringin terbagi menjadi beberapa kecamatan yang dikepalai oleh seorang Asisten Wedana atau kiai yang dikemudian hari disebut camat : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 90)
a. Kecamatan Arut Selatan ibukotanya Pangkalan Bun
b. Kecamatan Kumai ibukotanya Kumai
c. Kecamatan Sukamara ibukotanya Sukamara
d. Kecamatan Bulik Ibukotanya Nanga Bulik.
Pembagian wilayah kecamatan ini mengikuti Onderdistrict yang telah dilakukan oleh Belanda. Tetapi karena prasarana dan sarana transportasi masih menggunakan sungai, sehingga wilayah kecamatan yang terletak jauh dari sungai menjadi sulit terjangkau. Ibukota-ibukota kecamatan tadi sebenarnya telah berkembang menjadi kota semenjak jaman Hindia Belanda sebagai tempat pengumpul hasil bumi dan pusat distribusi barang yang didatangkan dari luar daerah.
Setelah berjalan beberapa tahun dibawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit atas kemauan Rakyat yang disalurkan melalui beberapa partai dan Organisasi yang saat itu ada di Pangkalan Bun. Rakyat menghendaki pemisahan diri dari kabupaten Kotawaringin dan penghapusan daerah Swapraja menjadi suatu daerah kabupaten sendiri. Pembentukan Kotawaringin barat diawali dengan Propinsi Kalimantan Tengah terlebih dahulu berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor : UP.34/41/24 tanggal 28 Desember 1957, kemudian barulah menyusul keluarnya SK. Nomor : Des.52/12/2.206 tanggal 22 Desember 1959 tentang pembagian Kabupaten Kotawaringin timur dan kabupaten Kotawaringin Barat.
Menurut data yang penulis peroleh dari Kantor Badan Pusat Statistik kabupaten Kotawaringin Barat, dapat dijelaskan bahwa letak Geografis wilayah kabupaten Kotawaringin Barat ada saat berdiri sendiri sebagai kabupaten baru adalah terletak diantara 0º18 LU – 3º30’LS dan 110º5’ – 112º50’ BT. Batas wilayah kabupaten Kotawaringin saat itu adalah :
Sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Kotawaringin Timur.Ø
Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.Ø
Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.Ø
Sebelah Selatan berbatasan dengan laut jawa.Ø
Keadaan Topogarafis Daerah Kebupaten Kotawaringin Barat pada umumnya adalah :
Sebelah Utara adalah pegunungan dan tanah lotosal tahan terhadap erosi.Ø
Sebelah Selatan adalah terdiri dari danau dan rawa allupial yang banyak mengandung air.Ø
Bagian Tengah adalah tanah padsoklik merah kuning, juga tahan erosi.Ø
Iklim daerah kabupaten Kotawaringin barat adalah iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai dengan September, sedangkan musim penghujan pada bulan Januari sampai Juni dan Oktober sampai dengan Desamber.
Kota Pangkalan Bun sendiri terletak di kecamatan Arut Selatan, yang terdiri dari beberapa desa yaitu : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 4)
a. Desa Sidorejo
b. Desa Madurejo
c. Desa Mendawai
d. Desa Mendawai Seberang
e. Desa Raja
f. Desa Raja Seberang
g. Desa Baru
h. Desa Pasir Panjang
i. Desa Kenambui
j. Desa Junjung Puteri
k. Desa Rangda
l. Desa Sulung
m. Desa Runtu
n. Desa Umpang
Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk di kota Pangkalan Bun yang terletak saat itu di daerah Swapraja Kotawaringin, tidak bisa dilepaskan dari daerah aliran kepada sungai. Di daerah ini terdapat empat sungai besar, yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau dan Sungai Kumai, serta puluhan anak sungai lainnya. penduduk asli yang tinggal di daerah ini adalah suku dayak yang berindukan Dayak Ngaju. Kedekatan Suku dayak dengan sungai mengakibatkan mereka mengidentifikasikan dirinya, atau masyarakatnya dengan nama sungai. (Bappeda, 2004 : 3).
Menurut Nahan telah bermukim sejak lama beberapa Suku Dayak di daerah ini antara lain :
a. Suku Dayak Arut, berkedudukan di Pandau.
b. Suku Dayak Darat, mereka telah mengirim upeti ke Kerajaan Majapahit sebelum kerajaan Kotawaringin ada.
c. Suku Dayak Didang, Belantikan dan Batang Kawa, berkedudukan di Kudangan, mereka mengirim upeti kepada kerajaan Banjar.
d. Suku Dayak Jelai yang berdialek jelai dan termasuk kelompok Dayak Ketung, mereka berdiam di daerah jelai dan Kotawaringin lama.
e. Suku Dayak Bulik yang juga merupakan kelompok Dayak Ketung, bertempat tinggal di daerah sungai Bulik dan Kotawaringin lama bagian utara.
Mengenai keberdaan orang Dayak di Kalimantan, terdapat dua pendapat yaitu Menurut Waldemar Stocdar di Kalimantan Utara terdapat Dayak Kalimantan, sedangkan Menurut Cilik Riwut Dayak Kalimantan itu sama dengan Dayak Darat yang bermukim di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tepatnya di Kotawaringin. Pada umumnya orang-orang dayak memeluk agama kaharingan atau Kristen, sedangkan orang dayak yang telah masuk islam menyebut dirinya melayu, (Bappeda, 2004 : 5).
Pembagian suku-suku di Kalimantan sendiri sukar untuk dijelaskan karena perkataan suku melayu banyak digunakan dalam pengertian pembagian agama, meskipun banyak juga suku melayu yang berasal dari Riau dan Semenanjung Malaka. Menurut Malin Cordt bahwa suku melayu yang berada di pesisir adalah sebagian keturunan dari Penduduk Jawa pada masa Majapahit, penduduk ini juga bisa datang dari Bengawan di sungai sedulun dan Melayu Tarakan. Sedangkan dari hasil wawancara penulis dengan Gusti Achmad Yusuf dijelaskan bahwa sudah ada suku Melayu yang berasal dari Brunei, jauh sebelum perkampungan Pangkalan Bun mulai ramai.
Mengenai migrasi suku banjar (Banjar Kuala) ke Kotawaringin terutama terjadi pada masa pemerintahan Raja Manuhum atau Sultan Musta’inbillah (1650 – 1672), yang telah mengijinkan berdirinya kerajaan Kotawaringin itu sendiri dengan raja pertamanya Pangeran Adipati Antakusuma, (www.wikepedia.org). sehingga sangat jelas terjadi juga percampuran antara suku banjar dengan suku dayak yang telah lebih dahulu mendiami daerah-daerah yang berada di bawah kesultanan Kotawaringin. Mengenai persahabatan antara Suku Dayak Arut dengan suku Banjar terdapat sebuah cerita yang menarik yang termuat di dalam buku Lontaan dan Sanusi, yaitu disepakati Suatu Pemufakatan untuk menjalin hubungan baik diantara kedua suku tersebut dengan “Perjanjian Daerah”, yakni upacara yang meminta tumbal dari masing-masing kelompok satu orang untuk dipenggal kepalanya sebagai korban. Ditambahkan oleh Gusti Achmad Yusuf bahwa selain nyawa manusia, dikorbankan juga seekor babi dari suku dayak dan Kambing dari suku banjar. Kemudian di atas kuburan korban tersebut diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Batu Petahan.
Pada masa Sultan ke XIV yaitu Pangeran Ratu Anum Kesuma Alamsyah (1939 – 1948), terjadi perluasan kota untuk pemukiman penduduk yaitu : (Bappeda, 2004 : 18)
a. Di kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan sungai Bulin.
b. Di kampung Raja, membukja lokasi baru untuk tempat pemukiman penduduk kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan / ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un tau disebut juga kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan baru.
c. Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jaw, sekarang menjadi kelurahan Sidorejo. Menurut Lontaan dan Sanusi, penduduk asli yang bermukim di Kabupaten Kotawaringin Barat berasal dari Suku Dayak Ngaju,yang kemudian dapat diuraikan lagi sebagai berikut :
a. Suku Mendawai
b. Suku Ruku Mapan
c. Suku Darat
d. Suku Lamandau
e. Suku Bulik
f. Suku Mentobi
g. Suku Belantikan
h. Suku Batang Kana / Kawak
i. Suku Delang ulu dan Ilir
j. Suku Banjar
Selain suku-suku ini juga disebutkan sudah mulai ada Suku Jawa dan Madura, serta suku bangsa Cina atau Tionghoa yang sudah menetap di kota Pangkalan Bun.
Ciri-ciri fisik Dayak Ngaju adalah tulang pipi agak menonjol, muka agak Bundar sampai mendaun, kuping sedang dan tipis, hidung tidak terlalu mancung, dahi berukuran sedang, rambut lurus sampai ikal, leher sedang, tinggi badan diatas 150 cm sampai 170 cm, dada tidak terlalu bidang dan tidak tebal, perawakan agak kurus, kaki khususnya betis banyak yang berbentuk O dan tubuh tidak berbulu (Dep. P&K, 1982 : 81 – 82).
Adapun jumlah penduduk kota Pangkalan Bun dari tahun 1950 – 1960, tidak penulis peroleh secara rinci. Di kantor Badan Pusat Statistik Kotawaringin Barat penulis hanya menemukan arsip terutama pada tahun 1982, alasan ketidaktersediaan data yang lengkap di kantor tersebut adalah bahwa setiap 10 tahun sekali data-data di kantor tersebut di musnahkan. Hal ini yang sangat disayangkan oleh penulis, karena jika ada peneliti yang menginginkan data-data tentang kota Pangkalan Bun pada tahun-tahun yang telah lampau, maka akan sulit memperoleh data-data tersebut. Sedangkan di buku karangan Lontaan dan Sanusi hanya menyebutkan jumlah penduduk kabupaten Kotawaringin Barat pada tahun 1976.
Untuk melengkapi data tentang jumlah penduduk kota Pangkalan Bun pada tahun 1950 – 1960, berikut akan penulis cantumkan data tentang jumlah penduduk Indonesia hasil sensus penduduk tahun 1930 dengan tahun 1961, sebagai bahan perbandingan tentang keadaan penduduk di kota Pangkalan Bun saat itu. Jumlah penduduk Indonesia (Martono dan Saidihardjo, 1983 : 26 – 27).
a. Tahun 1930 60,7 Juta Jiwa
b. Tahun 1961 97 Juta Jiwa
c. Tahun 1971 119,2 Juta Jiwa
d. Tahun 1976 129,9 Juta Jiwa
Kepadatan masing-masing pulau yaitu :
a. Pulau Jawa dan Madura 565 / Km2
b. Pulau Sumatera 38/ Km2
c. Pulau Kalimantan 9/ Km2
d. Pulau Sulawesi 37/ Km2
e. Pulau-Pulau lain 14/ Km2
Keadaan jumlah Penduduk Pulau Kalimantan, luas tanah dan Kepadatan Penduduk berdasarkan sensus 1971 adalah sebagai berikut :
Propinsi Penduduk % Luas / km2 Kepadatan
Kalbar 2.019.963 1.69 157.066 13
Kalteng 699.589 0.59 156.556 4
Kalsel 1.699.105 1.42 34/611 49
Kaltim 733.536 0.62 202/619 4
Dari beberapa data perbandingan diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan penduduk di Kalimantan Tengah masih sedikit dibandingkan dengan daerah Kalimantan lainnya, begitu juga tentang presentasi dan kepadatannya. Di kota Pangkalan Bun sendiri tentunya juga masih dihuni oleh penduduk yang sangat sedikit. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari H. Tengku Syahrial. Bahwa Pangkalan Bun saat itu masih merupakan kota kecil dan Ketika pihak kerajaan mengadakan acara Kenduri di Istana, maka Rakyat akan dijamu makan gratis di istana selama 3 hari – 3 malam.
Sistem Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk Kotawaringin Barat khususnya kota Pangkalan Bun, mempunyai mata pencaharian dari hasil hutan dan secara sambilan mengerjakan pertanian, perkebunan serta nelayan. Hasil hutan yang utama saat itu adalah kayu Meranti dan Ramin yang telah dijual ke luar daerah. Bahkan dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku Syahrial disebutkan bahwa Pangkalan Bun terletak dalam jalur perdagangan hingga keluar negeri, karena dilalui rute perdagangan Banjarmasin → Pangkalan Bun → Singapura. Hasil hutan yang dikerjakan oleh penduduk antara lain :
a. Atap Sirap ulin
b. Kayu Keruing
c. Rotan
d. Jelutung
e. Damar
Di dalam buku karangan Lontaan dan Sanusi juga dijelaskan bahwa pertanian Rakyat masih sederhana penggergajiannya, karena masih menggunakan cara-cara tradisional dan belum menggunakan pupuk. Pertanian ini banyak di sektor tanaman padi dan masih dilakukan dengan sistem perladangan yang berpindah-pindah di tanah tinggi (Natai). Selain Pertanian, perkebunan Rakyat juga belum memberikan pemasukan yang banyak pada saat itu dengan perincian sebagai berikut :
a. Karet
b. Kelapa
c. Kopi
d. Cengkeh
(60% adalah tanaman muda yang belum berubah)
Di bidang perikanan (darat dan laut), walaupun cukup potensial namun belum cukup mendapat tanggapan yang semestinya. Daerah Tanjung Puting misalnya, yang banyak terdapat ikan disana, kerap kali menjadi daerah operasi nelayan-nelayan dari daerah lainnya. mengenai peternakan, pada tahun-tahun tersebut sudah ada masyarakat yang memelihara sapi, khususnya di daerah pedalaman dengan cara sederhana. Caranya adalah dengan melepas begitu saja sapi-sapi itu di alam terbuka dan sewaktu-waktu diberi air garam untuk menjinakkannya. Di kota Pangkalan Bun juga berkembang kerajinan Rakyat yaitu : (Lontaan. 1976 : 146 – 148)
A. Kecubung
Hasil kerajinan Rakyat juga banyak penggemarnya, yakni perhiasan Batu Kecubung. Batu-batu kecubung ini biasa dibuat hiasan cincin, gelang dan liontin, dengan warna dominan biru / ungu.
B. Duyung
Kerajinan dari gigi taring ikan yang biasanya dijadikan pipa isapan rokok. Saat ini pemerintah sudah melarang penangkapan ikan tersebut karena termasuk binatang yang dilindungi, dan juga agar ikan ini tidak punah.
C. Tetudung
Kerajinan ini dibagi dalam 3 jenis yaitu :
¬Jenis Tudung Saji berbentuk besar dengan diameter 65Cm, yang pada bagian kulit luarnya yang melengkung dihiasi dengan manik warna-warni dan benda-benda lain yang mengkilat. Tudung saji jenis ini pada jaman dulu umumnya digunakan oleh pengantin baru. ¬Jenis Tudung Saji Biasa. Bentuk dan fungsinya sama dengan Tudung saji yang sebelumnya, hanya saja tidak dihiasi dengan manik-manik, melainkan dicat warna merah yang bahannya dari getah kayu “Jeremang”. ¬Jenis Tudung Saji Hiasan. Bentuknya kecil dan umumnya digunakan untuk hiasan dinding pada bagian luar kulitnya yang melengkung dihiasi manik warna-warni yang membentuk lambing atau nama dari si pemesan.
Adapun rintangan yang dihadapi oleh para pedagang dalam memasarkan barang adalah dalam hal pengangkutan barang, yakni adanya daerah-daerah hulu sungai yang beriam-riam yang dapat menghambat perjalanan dan dapat membuat kapal karam. Sulitnya medan yang dilalui karena hanya mengandalkan jalur sungai membuat hanya barang menjadi tiga kali lipat di bandingkan dengan daerah muara sungai dan tepi pantai. Pada saat itu juga masih berlaku pertukaran barang terutama di daerah-daerah pedalaman. Selain sudah mulainya digunakan uang. Mengenai pembagian uang saat itu, penulis peroleh dari hasil wawancara dengan H. Tengku Syahrial adalah sebagai berikut :
¬ 1 sen (tembaga) nilainya adalah 2 remis
¬ 1 ½ sen nilainya adalah sebenggol / 1 benggol
¬ 2 benggol nilainya adalah 1 klib (nikel)
¬ 2 klib nilainya adalah 1 ketib
¬ 25 sen nilainya adalah 1 tali
¬ 2 tali nilainya adalah 1 suku
¬ 2 suku nilainya adalah 1 rupiah
¬ 1 rupiah nilainya adalah 100 sen
¬ 2 ½ rupiah nilainya adalah 1 ringgit.
Sistem Pendidikan
Perhatian pendidikan pada saat Hindia Belanda kurang diperhatikan. Tugas pendidikan untuk anak-anak pribumi dilakukan oleh badan swasta yakni Zending. Zending dengan keterbatasan dana dan tenaga sukar untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mampu menjangkau Rakyat banyak. Sedangkan bantuan yang diberikan pemerintah Belanda berupa subsidi banyak yang dikurangi karena politik penghematan. Akibat penghematan ini uang sekolah menjadi mahal dan banyak anak-anak pribumi yang tidak mampu meneruskan sekolahnya.
Kesulitan utama bagi pendidikan di Kotawaringin adalah kesediaan tenaga guru yang sangat terbatas. Tenaga-tenaga yang terpilih menjadi guru dikirim terlebih dahulu ke Depok untuk dididik. Sekolah guru ini adalah satu-satunya milik zending. Baru pada tahun 1902 zending mendirikan sekolah guru di Banjarmasin yang disebut Seminari. Lulusan seminari ini yang kemudian mengajar di sekolah desa selama tiga tahun (Volk School) dan sekolah lanjutan selama dua tahun (Vervolg School).
Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
Ketika Jepang masuk, mereka menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah penjajahan Jepang mengambil alih semua sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut faiso. (Bappeda, 2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda, 2005 : 38).
Dalam perkembangan pendidikan di kota Pangkalan Bun setelah melalui fase pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, Swapraja, hingga menjadi kabupaten sendiri. Sejak tahun 1955 di bidang pendidikan dasar wilayah Pangkalan Bun telah ditunjuk sebagai kepala inspeksi sekolah Rakyat wilayah yaitu L. Ronteng, sendangkan sejak daerah ini berstatus kewedanaana / daerah Swapraja, sudah ada kantor inpeksi pendidikan jasmani wilayah Pangkalan Bun yang statusnya masih di bawah Sampit dan dikepalai oleh madjekur. (Bappeda, 2004 : 94).
Sejak tahun 1959 di daerah ini sudah ada berdiri kantor inspeksi pendidikan masyarakat yang dikepalai oleh Abdurani yang statusnya masih di bawah Sampit. Kegiatannya sampai dengan 1961 bergerak dalam pemberantasan buta huruf di kampung-kampung dan penyebaran perpustakaan berupa buku-buku bahkan dengan tenaga pengajar bersifat sukarela. (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 100).
Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakan Pankalan Bun mayoritas adalah beragama islam. Walaupun terdapat juga kepercayaan-kepercayaan lain seperti kaharingan dan Kristen, namun jumlahnya sangat sedikit. Sehingga sampai sekarang pun tempat ibadah agama selain islam bisa dihitung dengan jari. Perkembangan islam di Kotawaringin tidak lepas dari dai andil seorang ulama yang bernama kyai Gede, mengenai keberadaan kyai Gede terdapat berbagai versi cerita adapun beberapa versi cerita tersebut adalah :
a. Menurut Lontaan dan Sanusi Kyai Gede adalah seorang muslim yang ditemukan terikat pada sebatang pisang pada saat pembangunan kerajaan Kotawaringin, oleh kepala suku dayak laman dan ditolong dan dirawat serta diberi pembantu, karena sikapnya yang mengerti tata tertib dan sopan santun sehingga Rakyat sangat tertarik untuk memeluk agama yang dianutnya. Selain pengetahuan agama Kyai Gede juga memberikan pengetahuan tentang perang karena beliau merupakan Kyai dan pahlawan dari Majapahit.
b. Menurut Legenda Rakyat, pada waktu rombongan Pangeran Adipati Anta Kesuma mendarat di tepi sungai Lamandau mereka didatangi oleh rombongan Demang tujuh bersaudara dan Kyai Gede. Setelah kedua rombongan berperang dengan kemenangan di pihak Pangeran Adipati Antakesuma, kyai gede dan rombongannya sepakat mengangkat Pangeran Adipati Antakesuma menjadi raja. Yang menari dari legenda Rakyat ini, kyai Gede, Demang akar dan anaknya Sagar masuk agama islam. Demang akar dan Sagar masing berganti nama menjadi Demang Silam (Solam) dan Selamat. Sedangkan keenam demang lainnya pindah ke darat (pedalaman) kutaringin / Kotawaringin (Bappeda, 2004 : 8).
c. Menurut Nahan hasil wawancaranya dengan Gusti Dumai Anas, mengatakan bahwa berdirinya kerajaan Kotawaringin oleh Pangeran Adipati Antakesuma tidak dapat dipisahkan dari kedatangan kyai Gede yang mendahului kedatangan Pangeran Adipati Antakesuma di daerah Kotawaringin. Dikisahkan Kyai Gede adalah seorang ulama dari Demak yang kemudian pergi ke kerajaan Banjar kemudian diperintah Raja Banjar yaitu Sultan Mustainullilah / Mustainullah/Mustainbillah untuk membuka daerah wilayah barat Kerajaan Banjar. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kyai Gede adalah pembuka daerah baru dan sempat menghantarkan upeti ke Banjar sampai datangnya Pangeran Adipati Antakesuma.
Selama ini masih terjadi perdebatan siapakah sebenarnya Kyai Gede ?, apakah beliau seorang Muslim sebelum datang kekotawaringin ataukah seorang Hindu yang kemudian berpindah agama islam, atau juga apakah beliau seorang Dayak yang masuk Islam ataukah orang yang berasal dari Jawa. Hal ini masih menjadi perdebatan, karena minimnya sumber tertulis yang ada.
Diwilayah kecamatan Arut Selatan yang beribukotakan di Pangkalan Bun ini masih terdapat beberapa kesenian, kepercayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat hingga sekarang. Tradisi-tradisi tersebut sudah sejak lama terbentuk dari hasil percampuran budaya Dayak, Melayu dan Banjar. Beberapa upacara-upacara kebiasaan dalam hidup sehari-hari sudah mendapat pengaruh Islam, namun ada juga yang masih asli tanpa pengaruh Islam Khususnya di daerah Pedalaman.
Adapun kesenian, tradisi dan upacara-upacara tersebut antara lain : (Dispasenibud Kobar)
a. Di daerah pesisir
Hadrah yaitu kesenian tradisional daerah yang bersifat keagamaan berupa tari-tarian yang diiringi oleh pembacaan Shalawat dan Rebana, biasanya dimainkan pada saat perkawinan dan peringatan keagamaan.
• Burdah yaitu upacara mengayun anak bayi pada saat berumur 7 sampai 10 hari.
• Manggudading atau Banggas merupakan upacara mengayun anak juga.
• ¬Barudat yaitu pada saat membandingkan pengantin.
• ¬Rebana pada acara keagamaan.
• ¬Tampung Tawar pada acara perkawinan dan ritual lainnya.
• Pantun Seloka yaitu kesenian dalam bentuk puisi.
• Merumpak Kotamara yaitu pertunjukan silat pada saat penerimaan tamu atau pengantin.
• ¬Jepen dan Tirik yaitu kesenian tarian tradisional.
• ¬Menyanggar banua adalah ritual memberi sesajen kepada makhluk halus.
• ¬Mamanda yaitu kesenian fragmen atau sandiwara.
• ¬Mangidung adalah upacara berbalas pantun pada saat menerima tamu.
• ¬Maulid yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
• Bakocor yaitu upacara berbalas pantun pada saat pengantin pria mendatangi rumah pengantin wanita.
• ¬Marak pengantin yaitu mengarak pengantin pria
• ¬Barowah untuk memperingati kematian seseorang
• ¬Doa A’kasah pada awal hijriah
• Bararisik yaitu upacara lamaran
• ¬Bahatam Qur’an jika seseorang selesai belajar Al-Qur’an
• ¬Haulan memperingati kematian seseorang setiap tahun
• ¬Bahalarat yaitu pada saat mendirikan bangunan.
• ¬Doa selamat tolak bala pada saat ada musibah.
• ¬Menujuh hari untuk memperingati hari ketujuh orang meninggal.
• ¬Meniga hari untuk memperingati ketiga orang meninggal.
• ¬Menyeratus hari untuk memperingati hari keseratus orang meninggal.
• ¬Mandi Baya yaitu mandi-mandi pada saat seorang wanita hamil tujuh bulan.
• ¬Tajak tanah, mandi kebanyu yaitu pada saat bayi berumur 7 – 30 hari.
• ¬Menurun tanah yaitu pada saat jenazah dikuburkan.
• ¬Pamali adalah larangan
• ¬Batimung adalah acara membersihkan badan calon pengantin
• ¬Menjorah kubur adalah ritual berziarah ke kubur.
• ¬Memajang yaitu mendekorasi rumah dan kamar pengantin.
• ¬Barinjam yaitu ada acara panen padi secara gotong royong.
b. Pedalaman
• Begondang yaitu upacara menerima tamu dengan adat Dayak.
• ¬Barayah yaitu acara belasungkawa untuk mengantar jenazah.
• ¬Potong Balerang yaitu tarian menyambut tamu.
• ¬Domang adalah Pemimpin kampung atau kepala adat.
• Panta panti adalah pantangan
• ¬Babura adalah bersemedi di rumah yang meninggal dunia.
• ¬Badewa yaitu ritual pengobatan secara tradisional dengan menggunakan sesajen.
Aspek Pemerintahan Lokal
Setelah daerah Swapraja Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1050, daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Pada saat di swapraja Kotawaringin telah berdiri beberapa organisasi dan partai politik antara lain :
A. Partai Masyumi
B. Partai Nasional Indonesia (PNI)
C. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)
D. Sarekat Kerja Indonesia (SKI)
E. Badan Pekerja Republik Indonesia (BPRI)
F. Persatuan Wanita Indonesia (Perwani)
Daerah Swapraja Kotawaringin sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka pada waktu itu terpilih : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 91)
a. M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi
b. Ahmad Said dari BPRI
c. Dahlan Abas dari partai Masyumi
d. M. Sahloel dari PNI
e. Gusti M. Sanusi dari PNI
f. Djainuri dari SKI
g. I. Ismail dari Parkindo
Mengenai M. Sahloel karena sesuatu hal tidak dapat hadir sehingga diganti oleh Azhar Mukhtas. Ketujuh orang ini yang mewakili daerah Swapraja Kotawaringin di DPRDS Kabupaten Kotawaringin yang keseluruhannya terdapat 18 kursi. DPRDS ini dilantik tahun 1951, yakni sebelum terbentuknya Propinsi Kalimantan tengah dan masih berada dalam kawasan keresidenan Kalimantan Selatan.
Adapun orang-orang yang pernah menjabat sebagai Wedana / Wakil Kepala Daerah Swapraja Kotawaringin berturut-turut adalah sebagai berikut : (Bappeda. 2004 : 81)
a. Basri. BA
b. Gusti Ahmad
c. M. Saleh
d. Abdul Muis
e. Rozani
f. Syukur
g. C. Mihing
Setelah beberapa tahun berada di bawah kabupaten Kotawaringin, muncullah tuntutan dari Rakyat swapraja Kotawaringin untuk memisahkan diri dan menghapus Swapraja menjadi kabupaten yang baru. Tuntutan ini disampaikan dalam sidang Pertama DPRDS tahun 1955 oleh wakil-wakil dari swapraja Kotawaringin, dengan mengajukan mosi tanggal 21 Juni 1955 yang ditandai tangani oleh : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 93).
a. Dahlan Abas
b. Abdullah Mahmud
c. Azhar Mukhtas
d. Ahmad Said
e. Djainuri
f. Gusti. M. Sanusi
Mosi tersebut disetujui hingga keluarlah keputusan DPRDS melalui resolusi tanggal 30 Juni 1955 No. A – 21 – 12 – dpr – 55 yang disampaikan kepada : (Bappeda, 2004 : 88)
a. Menteri Dalam Negeri Jakarta.
b. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
c. Residen Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
d. Bupati / Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin di Sampit.
Setelah adanya peninjauan dari pusat, maka keluarlah undang-undang No : 27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dengan ibukotanya Sampit dan Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibukotanya Pangkalan Bu’un yang Akhirnya berubah nama menjadi Pangkalan Bun, yang pada saat itu telah menjadi bagian Propinsi Kalimantan tengah, dan diresmikan tanggal 3 Oktober 1959 dan mengangkat C. Milling menjadi Bupati Pertama kabupaten Kotawaringin Barat.
Untuk kelengkapan badan-badan / lembaga-lembaga dalam pemerintahan daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dengan lahirnya Pen.Pres.No : 5/6 tahun 1960 dan berdasarkan S.K. Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Maret 1960. No : 35-PD-I-1960 diangkatlah 4 orang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) yang terdiri dari : (Bappeda, 2004 : 89)
a. Gusti. M. Sanusi
b. Lie Sian Bang
c. Ishak Permana
d. Djainuri
Badan ini berfungsi untuk membantu tugas Bupati dalam pemerintahan.
Melalui S.K. Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Oktober 1960 No0 : okt-317/60/Dprdgr, dibentuklah DPRDGR = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong yang beranggotakan 15 orang sebagai berikut : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 95)
a. J.R. Lama Wakil Ketua Dari PNI
b. P. Arianingrat anggota Dari PNI
c. Said M. Tji anggota Dari NU
d. Abdussukur anggota Dari Seniman
e. A. Kamas anggota Dari PNI
f. LE. Djuang anggota Dari PKI
g. Gst. Abdul Gani anggota Dari NU
h. Said Husin anggota DariAngkatan 45
i. H. Barak anggota Dari Pengusaha Nasional
j. Selma anggota Dari Wanita
k. Ajang Bahan anggota Dari ABRI / POLRI
l. Gst. Kiting anggota Dari Pemuda
m. Gst. Hermansyah anggota Dari NU
n. Mas Karim DW anggota Dari Tani
o. H. A. MAS Alipandi anggota Dari ABRI / AD
Keseluruhan anggota DPRDGR ini dilantik oleh Gubernur Kalimantan Tengah saat itu yaitu Cilik Riwut tanggal 12 Januari 1961.
Pada tahun 1949 kota Pangkalan Bun masih dikenal sebagai ibu kota dari daerah Swapraja, Kotawaringin, atau dalam bahasa Belanda disebut Landschap. Daearah ini berdasarkan zelkbestuursregenden 1983 dan dalam IS 1946 – 27, telah diberikan hak demokrasi. Sehingga raja atau sultan telah membuat Dewan Perwakilan yang turut membuat undang-undang atau disebut juga dengan Dewan Penasehat.
Negara Indonesia serikat berdiri sejak penyerahan kedaulatan pada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, sesudah diadakan Konferensi Menja Bundar di Ridderzaal ‘Sgravenhage (Netherland) atara kerajaan Netherland, pemerintah Indonesia dan pertemuan untuk permusyawaratan federasi (Bijeenkomst Voor Federal Overleg, yang lazim disebut B.F.O), seperti yang dimaksud dalam induk peresetujuan yang bersangkutan dan terbentuk undang-undang (Kerajaan Belanda) tentang penyerahan kedaulatan Indonesia tanggal 21 Desember 1949 (N.S) 1949 – J 570;L.N. 1950 – 2, yang mulai berlaku pada tanggal 22 Desember 1949. (Irawan Soejito,1984 : 155 – 156).
Setelah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia diakui dunia Internasional akhir maret1950, Landschaap Kotawaringin dengan LN RIS – 16 jo BNRIS 1950 – 23 masuk kedalam Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950, tetapi statusnya sebagai Landscap masih terus berlangsung. Setelah resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia, Swapraja Kotawaringin berada di bawah Kabupaten Kotawaringin yang telah berdiri sejak 27 Desember 1949 dengan ibu kotanya Sampit.
Sebagai daerah Swapraja, Kotawaringin terbagi menjadi beberapa kecamatan yang dikepalai oleh seorang Asisten Wedana atau kiai yang dikemudian hari disebut camat : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 90)
a. Kecamatan Arut Selatan ibukotanya Pangkalan Bun
b. Kecamatan Kumai ibukotanya Kumai
c. Kecamatan Sukamara ibukotanya Sukamara
d. Kecamatan Bulik Ibukotanya Nanga Bulik.
Pembagian wilayah kecamatan ini mengikuti Onderdistrict yang telah dilakukan oleh Belanda. Tetapi karena prasarana dan sarana transportasi masih menggunakan sungai, sehingga wilayah kecamatan yang terletak jauh dari sungai menjadi sulit terjangkau. Ibukota-ibukota kecamatan tadi sebenarnya telah berkembang menjadi kota semenjak jaman Hindia Belanda sebagai tempat pengumpul hasil bumi dan pusat distribusi barang yang didatangkan dari luar daerah.
Setelah berjalan beberapa tahun dibawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit atas kemauan Rakyat yang disalurkan melalui beberapa partai dan Organisasi yang saat itu ada di Pangkalan Bun. Rakyat menghendaki pemisahan diri dari kabupaten Kotawaringin dan penghapusan daerah Swapraja menjadi suatu daerah kabupaten sendiri. Pembentukan Kotawaringin barat diawali dengan Propinsi Kalimantan Tengah terlebih dahulu berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor : UP.34/41/24 tanggal 28 Desember 1957, kemudian barulah menyusul keluarnya SK. Nomor : Des.52/12/2.206 tanggal 22 Desember 1959 tentang pembagian Kabupaten Kotawaringin timur dan kabupaten Kotawaringin Barat.
Menurut data yang penulis peroleh dari Kantor Badan Pusat Statistik kabupaten Kotawaringin Barat, dapat dijelaskan bahwa letak Geografis wilayah kabupaten Kotawaringin Barat ada saat berdiri sendiri sebagai kabupaten baru adalah terletak diantara 0º18 LU – 3º30’LS dan 110º5’ – 112º50’ BT. Batas wilayah kabupaten Kotawaringin saat itu adalah :
Sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Kotawaringin Timur.Ø
Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.Ø
Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.Ø
Sebelah Selatan berbatasan dengan laut jawa.Ø
Keadaan Topogarafis Daerah Kebupaten Kotawaringin Barat pada umumnya adalah :
Sebelah Utara adalah pegunungan dan tanah lotosal tahan terhadap erosi.Ø
Sebelah Selatan adalah terdiri dari danau dan rawa allupial yang banyak mengandung air.Ø
Bagian Tengah adalah tanah padsoklik merah kuning, juga tahan erosi.Ø
Iklim daerah kabupaten Kotawaringin barat adalah iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai dengan September, sedangkan musim penghujan pada bulan Januari sampai Juni dan Oktober sampai dengan Desamber.
Kota Pangkalan Bun sendiri terletak di kecamatan Arut Selatan, yang terdiri dari beberapa desa yaitu : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 4)
a. Desa Sidorejo
b. Desa Madurejo
c. Desa Mendawai
d. Desa Mendawai Seberang
e. Desa Raja
f. Desa Raja Seberang
g. Desa Baru
h. Desa Pasir Panjang
i. Desa Kenambui
j. Desa Junjung Puteri
k. Desa Rangda
l. Desa Sulung
m. Desa Runtu
n. Desa Umpang
Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk di kota Pangkalan Bun yang terletak saat itu di daerah Swapraja Kotawaringin, tidak bisa dilepaskan dari daerah aliran kepada sungai. Di daerah ini terdapat empat sungai besar, yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau dan Sungai Kumai, serta puluhan anak sungai lainnya. penduduk asli yang tinggal di daerah ini adalah suku dayak yang berindukan Dayak Ngaju. Kedekatan Suku dayak dengan sungai mengakibatkan mereka mengidentifikasikan dirinya, atau masyarakatnya dengan nama sungai. (Bappeda, 2004 : 3).
Menurut Nahan telah bermukim sejak lama beberapa Suku Dayak di daerah ini antara lain :
a. Suku Dayak Arut, berkedudukan di Pandau.
b. Suku Dayak Darat, mereka telah mengirim upeti ke Kerajaan Majapahit sebelum kerajaan Kotawaringin ada.
c. Suku Dayak Didang, Belantikan dan Batang Kawa, berkedudukan di Kudangan, mereka mengirim upeti kepada kerajaan Banjar.
d. Suku Dayak Jelai yang berdialek jelai dan termasuk kelompok Dayak Ketung, mereka berdiam di daerah jelai dan Kotawaringin lama.
e. Suku Dayak Bulik yang juga merupakan kelompok Dayak Ketung, bertempat tinggal di daerah sungai Bulik dan Kotawaringin lama bagian utara.
Mengenai keberdaan orang Dayak di Kalimantan, terdapat dua pendapat yaitu Menurut Waldemar Stocdar di Kalimantan Utara terdapat Dayak Kalimantan, sedangkan Menurut Cilik Riwut Dayak Kalimantan itu sama dengan Dayak Darat yang bermukim di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tepatnya di Kotawaringin. Pada umumnya orang-orang dayak memeluk agama kaharingan atau Kristen, sedangkan orang dayak yang telah masuk islam menyebut dirinya melayu, (Bappeda, 2004 : 5).
Pembagian suku-suku di Kalimantan sendiri sukar untuk dijelaskan karena perkataan suku melayu banyak digunakan dalam pengertian pembagian agama, meskipun banyak juga suku melayu yang berasal dari Riau dan Semenanjung Malaka. Menurut Malin Cordt bahwa suku melayu yang berada di pesisir adalah sebagian keturunan dari Penduduk Jawa pada masa Majapahit, penduduk ini juga bisa datang dari Bengawan di sungai sedulun dan Melayu Tarakan. Sedangkan dari hasil wawancara penulis dengan Gusti Achmad Yusuf dijelaskan bahwa sudah ada suku Melayu yang berasal dari Brunei, jauh sebelum perkampungan Pangkalan Bun mulai ramai.
Mengenai migrasi suku banjar (Banjar Kuala) ke Kotawaringin terutama terjadi pada masa pemerintahan Raja Manuhum atau Sultan Musta’inbillah (1650 – 1672), yang telah mengijinkan berdirinya kerajaan Kotawaringin itu sendiri dengan raja pertamanya Pangeran Adipati Antakusuma, (www.wikepedia.org). sehingga sangat jelas terjadi juga percampuran antara suku banjar dengan suku dayak yang telah lebih dahulu mendiami daerah-daerah yang berada di bawah kesultanan Kotawaringin. Mengenai persahabatan antara Suku Dayak Arut dengan suku Banjar terdapat sebuah cerita yang menarik yang termuat di dalam buku Lontaan dan Sanusi, yaitu disepakati Suatu Pemufakatan untuk menjalin hubungan baik diantara kedua suku tersebut dengan “Perjanjian Daerah”, yakni upacara yang meminta tumbal dari masing-masing kelompok satu orang untuk dipenggal kepalanya sebagai korban. Ditambahkan oleh Gusti Achmad Yusuf bahwa selain nyawa manusia, dikorbankan juga seekor babi dari suku dayak dan Kambing dari suku banjar. Kemudian di atas kuburan korban tersebut diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Batu Petahan.
Pada masa Sultan ke XIV yaitu Pangeran Ratu Anum Kesuma Alamsyah (1939 – 1948), terjadi perluasan kota untuk pemukiman penduduk yaitu : (Bappeda, 2004 : 18)
a. Di kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan sungai Bulin.
b. Di kampung Raja, membukja lokasi baru untuk tempat pemukiman penduduk kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan / ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un tau disebut juga kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan baru.
c. Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jaw, sekarang menjadi kelurahan Sidorejo. Menurut Lontaan dan Sanusi, penduduk asli yang bermukim di Kabupaten Kotawaringin Barat berasal dari Suku Dayak Ngaju,yang kemudian dapat diuraikan lagi sebagai berikut :
a. Suku Mendawai
b. Suku Ruku Mapan
c. Suku Darat
d. Suku Lamandau
e. Suku Bulik
f. Suku Mentobi
g. Suku Belantikan
h. Suku Batang Kana / Kawak
i. Suku Delang ulu dan Ilir
j. Suku Banjar
Selain suku-suku ini juga disebutkan sudah mulai ada Suku Jawa dan Madura, serta suku bangsa Cina atau Tionghoa yang sudah menetap di kota Pangkalan Bun.
Ciri-ciri fisik Dayak Ngaju adalah tulang pipi agak menonjol, muka agak Bundar sampai mendaun, kuping sedang dan tipis, hidung tidak terlalu mancung, dahi berukuran sedang, rambut lurus sampai ikal, leher sedang, tinggi badan diatas 150 cm sampai 170 cm, dada tidak terlalu bidang dan tidak tebal, perawakan agak kurus, kaki khususnya betis banyak yang berbentuk O dan tubuh tidak berbulu (Dep. P&K, 1982 : 81 – 82).
Adapun jumlah penduduk kota Pangkalan Bun dari tahun 1950 – 1960, tidak penulis peroleh secara rinci. Di kantor Badan Pusat Statistik Kotawaringin Barat penulis hanya menemukan arsip terutama pada tahun 1982, alasan ketidaktersediaan data yang lengkap di kantor tersebut adalah bahwa setiap 10 tahun sekali data-data di kantor tersebut di musnahkan. Hal ini yang sangat disayangkan oleh penulis, karena jika ada peneliti yang menginginkan data-data tentang kota Pangkalan Bun pada tahun-tahun yang telah lampau, maka akan sulit memperoleh data-data tersebut. Sedangkan di buku karangan Lontaan dan Sanusi hanya menyebutkan jumlah penduduk kabupaten Kotawaringin Barat pada tahun 1976.
Untuk melengkapi data tentang jumlah penduduk kota Pangkalan Bun pada tahun 1950 – 1960, berikut akan penulis cantumkan data tentang jumlah penduduk Indonesia hasil sensus penduduk tahun 1930 dengan tahun 1961, sebagai bahan perbandingan tentang keadaan penduduk di kota Pangkalan Bun saat itu. Jumlah penduduk Indonesia (Martono dan Saidihardjo, 1983 : 26 – 27).
a. Tahun 1930 60,7 Juta Jiwa
b. Tahun 1961 97 Juta Jiwa
c. Tahun 1971 119,2 Juta Jiwa
d. Tahun 1976 129,9 Juta Jiwa
Kepadatan masing-masing pulau yaitu :
a. Pulau Jawa dan Madura 565 / Km2
b. Pulau Sumatera 38/ Km2
c. Pulau Kalimantan 9/ Km2
d. Pulau Sulawesi 37/ Km2
e. Pulau-Pulau lain 14/ Km2
Keadaan jumlah Penduduk Pulau Kalimantan, luas tanah dan Kepadatan Penduduk berdasarkan sensus 1971 adalah sebagai berikut :
Propinsi Penduduk % Luas / km2 Kepadatan
Kalbar 2.019.963 1.69 157.066 13
Kalteng 699.589 0.59 156.556 4
Kalsel 1.699.105 1.42 34/611 49
Kaltim 733.536 0.62 202/619 4
Dari beberapa data perbandingan diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan penduduk di Kalimantan Tengah masih sedikit dibandingkan dengan daerah Kalimantan lainnya, begitu juga tentang presentasi dan kepadatannya. Di kota Pangkalan Bun sendiri tentunya juga masih dihuni oleh penduduk yang sangat sedikit. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari H. Tengku Syahrial. Bahwa Pangkalan Bun saat itu masih merupakan kota kecil dan Ketika pihak kerajaan mengadakan acara Kenduri di Istana, maka Rakyat akan dijamu makan gratis di istana selama 3 hari – 3 malam.
Sistem Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk Kotawaringin Barat khususnya kota Pangkalan Bun, mempunyai mata pencaharian dari hasil hutan dan secara sambilan mengerjakan pertanian, perkebunan serta nelayan. Hasil hutan yang utama saat itu adalah kayu Meranti dan Ramin yang telah dijual ke luar daerah. Bahkan dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku Syahrial disebutkan bahwa Pangkalan Bun terletak dalam jalur perdagangan hingga keluar negeri, karena dilalui rute perdagangan Banjarmasin → Pangkalan Bun → Singapura. Hasil hutan yang dikerjakan oleh penduduk antara lain :
a. Atap Sirap ulin
b. Kayu Keruing
c. Rotan
d. Jelutung
e. Damar
Di dalam buku karangan Lontaan dan Sanusi juga dijelaskan bahwa pertanian Rakyat masih sederhana penggergajiannya, karena masih menggunakan cara-cara tradisional dan belum menggunakan pupuk. Pertanian ini banyak di sektor tanaman padi dan masih dilakukan dengan sistem perladangan yang berpindah-pindah di tanah tinggi (Natai). Selain Pertanian, perkebunan Rakyat juga belum memberikan pemasukan yang banyak pada saat itu dengan perincian sebagai berikut :
a. Karet
b. Kelapa
c. Kopi
d. Cengkeh
(60% adalah tanaman muda yang belum berubah)
Di bidang perikanan (darat dan laut), walaupun cukup potensial namun belum cukup mendapat tanggapan yang semestinya. Daerah Tanjung Puting misalnya, yang banyak terdapat ikan disana, kerap kali menjadi daerah operasi nelayan-nelayan dari daerah lainnya. mengenai peternakan, pada tahun-tahun tersebut sudah ada masyarakat yang memelihara sapi, khususnya di daerah pedalaman dengan cara sederhana. Caranya adalah dengan melepas begitu saja sapi-sapi itu di alam terbuka dan sewaktu-waktu diberi air garam untuk menjinakkannya. Di kota Pangkalan Bun juga berkembang kerajinan Rakyat yaitu : (Lontaan. 1976 : 146 – 148)
A. Kecubung
Hasil kerajinan Rakyat juga banyak penggemarnya, yakni perhiasan Batu Kecubung. Batu-batu kecubung ini biasa dibuat hiasan cincin, gelang dan liontin, dengan warna dominan biru / ungu.
B. Duyung
Kerajinan dari gigi taring ikan yang biasanya dijadikan pipa isapan rokok. Saat ini pemerintah sudah melarang penangkapan ikan tersebut karena termasuk binatang yang dilindungi, dan juga agar ikan ini tidak punah.
C. Tetudung
Kerajinan ini dibagi dalam 3 jenis yaitu :
¬Jenis Tudung Saji berbentuk besar dengan diameter 65Cm, yang pada bagian kulit luarnya yang melengkung dihiasi dengan manik warna-warni dan benda-benda lain yang mengkilat. Tudung saji jenis ini pada jaman dulu umumnya digunakan oleh pengantin baru. ¬Jenis Tudung Saji Biasa. Bentuk dan fungsinya sama dengan Tudung saji yang sebelumnya, hanya saja tidak dihiasi dengan manik-manik, melainkan dicat warna merah yang bahannya dari getah kayu “Jeremang”. ¬Jenis Tudung Saji Hiasan. Bentuknya kecil dan umumnya digunakan untuk hiasan dinding pada bagian luar kulitnya yang melengkung dihiasi manik warna-warni yang membentuk lambing atau nama dari si pemesan.
Adapun rintangan yang dihadapi oleh para pedagang dalam memasarkan barang adalah dalam hal pengangkutan barang, yakni adanya daerah-daerah hulu sungai yang beriam-riam yang dapat menghambat perjalanan dan dapat membuat kapal karam. Sulitnya medan yang dilalui karena hanya mengandalkan jalur sungai membuat hanya barang menjadi tiga kali lipat di bandingkan dengan daerah muara sungai dan tepi pantai. Pada saat itu juga masih berlaku pertukaran barang terutama di daerah-daerah pedalaman. Selain sudah mulainya digunakan uang. Mengenai pembagian uang saat itu, penulis peroleh dari hasil wawancara dengan H. Tengku Syahrial adalah sebagai berikut :
¬ 1 sen (tembaga) nilainya adalah 2 remis
¬ 1 ½ sen nilainya adalah sebenggol / 1 benggol
¬ 2 benggol nilainya adalah 1 klib (nikel)
¬ 2 klib nilainya adalah 1 ketib
¬ 25 sen nilainya adalah 1 tali
¬ 2 tali nilainya adalah 1 suku
¬ 2 suku nilainya adalah 1 rupiah
¬ 1 rupiah nilainya adalah 100 sen
¬ 2 ½ rupiah nilainya adalah 1 ringgit.
Sistem Pendidikan
Perhatian pendidikan pada saat Hindia Belanda kurang diperhatikan. Tugas pendidikan untuk anak-anak pribumi dilakukan oleh badan swasta yakni Zending. Zending dengan keterbatasan dana dan tenaga sukar untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mampu menjangkau Rakyat banyak. Sedangkan bantuan yang diberikan pemerintah Belanda berupa subsidi banyak yang dikurangi karena politik penghematan. Akibat penghematan ini uang sekolah menjadi mahal dan banyak anak-anak pribumi yang tidak mampu meneruskan sekolahnya.
Kesulitan utama bagi pendidikan di Kotawaringin adalah kesediaan tenaga guru yang sangat terbatas. Tenaga-tenaga yang terpilih menjadi guru dikirim terlebih dahulu ke Depok untuk dididik. Sekolah guru ini adalah satu-satunya milik zending. Baru pada tahun 1902 zending mendirikan sekolah guru di Banjarmasin yang disebut Seminari. Lulusan seminari ini yang kemudian mengajar di sekolah desa selama tiga tahun (Volk School) dan sekolah lanjutan selama dua tahun (Vervolg School).
Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
Ketika Jepang masuk, mereka menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah penjajahan Jepang mengambil alih semua sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut faiso. (Bappeda, 2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda, 2005 : 38).
Dalam perkembangan pendidikan di kota Pangkalan Bun setelah melalui fase pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, Swapraja, hingga menjadi kabupaten sendiri. Sejak tahun 1955 di bidang pendidikan dasar wilayah Pangkalan Bun telah ditunjuk sebagai kepala inspeksi sekolah Rakyat wilayah yaitu L. Ronteng, sendangkan sejak daerah ini berstatus kewedanaana / daerah Swapraja, sudah ada kantor inpeksi pendidikan jasmani wilayah Pangkalan Bun yang statusnya masih di bawah Sampit dan dikepalai oleh madjekur. (Bappeda, 2004 : 94).
Sejak tahun 1959 di daerah ini sudah ada berdiri kantor inspeksi pendidikan masyarakat yang dikepalai oleh Abdurani yang statusnya masih di bawah Sampit. Kegiatannya sampai dengan 1961 bergerak dalam pemberantasan buta huruf di kampung-kampung dan penyebaran perpustakaan berupa buku-buku bahkan dengan tenaga pengajar bersifat sukarela. (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 100).
Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakan Pankalan Bun mayoritas adalah beragama islam. Walaupun terdapat juga kepercayaan-kepercayaan lain seperti kaharingan dan Kristen, namun jumlahnya sangat sedikit. Sehingga sampai sekarang pun tempat ibadah agama selain islam bisa dihitung dengan jari. Perkembangan islam di Kotawaringin tidak lepas dari dai andil seorang ulama yang bernama kyai Gede, mengenai keberadaan kyai Gede terdapat berbagai versi cerita adapun beberapa versi cerita tersebut adalah :
a. Menurut Lontaan dan Sanusi Kyai Gede adalah seorang muslim yang ditemukan terikat pada sebatang pisang pada saat pembangunan kerajaan Kotawaringin, oleh kepala suku dayak laman dan ditolong dan dirawat serta diberi pembantu, karena sikapnya yang mengerti tata tertib dan sopan santun sehingga Rakyat sangat tertarik untuk memeluk agama yang dianutnya. Selain pengetahuan agama Kyai Gede juga memberikan pengetahuan tentang perang karena beliau merupakan Kyai dan pahlawan dari Majapahit.
b. Menurut Legenda Rakyat, pada waktu rombongan Pangeran Adipati Anta Kesuma mendarat di tepi sungai Lamandau mereka didatangi oleh rombongan Demang tujuh bersaudara dan Kyai Gede. Setelah kedua rombongan berperang dengan kemenangan di pihak Pangeran Adipati Antakesuma, kyai gede dan rombongannya sepakat mengangkat Pangeran Adipati Antakesuma menjadi raja. Yang menari dari legenda Rakyat ini, kyai Gede, Demang akar dan anaknya Sagar masuk agama islam. Demang akar dan Sagar masing berganti nama menjadi Demang Silam (Solam) dan Selamat. Sedangkan keenam demang lainnya pindah ke darat (pedalaman) kutaringin / Kotawaringin (Bappeda, 2004 : 8).
c. Menurut Nahan hasil wawancaranya dengan Gusti Dumai Anas, mengatakan bahwa berdirinya kerajaan Kotawaringin oleh Pangeran Adipati Antakesuma tidak dapat dipisahkan dari kedatangan kyai Gede yang mendahului kedatangan Pangeran Adipati Antakesuma di daerah Kotawaringin. Dikisahkan Kyai Gede adalah seorang ulama dari Demak yang kemudian pergi ke kerajaan Banjar kemudian diperintah Raja Banjar yaitu Sultan Mustainullilah / Mustainullah/Mustainbillah untuk membuka daerah wilayah barat Kerajaan Banjar. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kyai Gede adalah pembuka daerah baru dan sempat menghantarkan upeti ke Banjar sampai datangnya Pangeran Adipati Antakesuma.
Selama ini masih terjadi perdebatan siapakah sebenarnya Kyai Gede ?, apakah beliau seorang Muslim sebelum datang kekotawaringin ataukah seorang Hindu yang kemudian berpindah agama islam, atau juga apakah beliau seorang Dayak yang masuk Islam ataukah orang yang berasal dari Jawa. Hal ini masih menjadi perdebatan, karena minimnya sumber tertulis yang ada.
Diwilayah kecamatan Arut Selatan yang beribukotakan di Pangkalan Bun ini masih terdapat beberapa kesenian, kepercayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat hingga sekarang. Tradisi-tradisi tersebut sudah sejak lama terbentuk dari hasil percampuran budaya Dayak, Melayu dan Banjar. Beberapa upacara-upacara kebiasaan dalam hidup sehari-hari sudah mendapat pengaruh Islam, namun ada juga yang masih asli tanpa pengaruh Islam Khususnya di daerah Pedalaman.
Adapun kesenian, tradisi dan upacara-upacara tersebut antara lain : (Dispasenibud Kobar)
a. Di daerah pesisir
Hadrah yaitu kesenian tradisional daerah yang bersifat keagamaan berupa tari-tarian yang diiringi oleh pembacaan Shalawat dan Rebana, biasanya dimainkan pada saat perkawinan dan peringatan keagamaan.
• Burdah yaitu upacara mengayun anak bayi pada saat berumur 7 sampai 10 hari.
• Manggudading atau Banggas merupakan upacara mengayun anak juga.
• ¬Barudat yaitu pada saat membandingkan pengantin.
• ¬Rebana pada acara keagamaan.
• ¬Tampung Tawar pada acara perkawinan dan ritual lainnya.
• Pantun Seloka yaitu kesenian dalam bentuk puisi.
• Merumpak Kotamara yaitu pertunjukan silat pada saat penerimaan tamu atau pengantin.
• ¬Jepen dan Tirik yaitu kesenian tarian tradisional.
• ¬Menyanggar banua adalah ritual memberi sesajen kepada makhluk halus.
• ¬Mamanda yaitu kesenian fragmen atau sandiwara.
• ¬Mangidung adalah upacara berbalas pantun pada saat menerima tamu.
• ¬Maulid yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
• Bakocor yaitu upacara berbalas pantun pada saat pengantin pria mendatangi rumah pengantin wanita.
• ¬Marak pengantin yaitu mengarak pengantin pria
• ¬Barowah untuk memperingati kematian seseorang
• ¬Doa A’kasah pada awal hijriah
• Bararisik yaitu upacara lamaran
• ¬Bahatam Qur’an jika seseorang selesai belajar Al-Qur’an
• ¬Haulan memperingati kematian seseorang setiap tahun
• ¬Bahalarat yaitu pada saat mendirikan bangunan.
• ¬Doa selamat tolak bala pada saat ada musibah.
• ¬Menujuh hari untuk memperingati hari ketujuh orang meninggal.
• ¬Meniga hari untuk memperingati ketiga orang meninggal.
• ¬Menyeratus hari untuk memperingati hari keseratus orang meninggal.
• ¬Mandi Baya yaitu mandi-mandi pada saat seorang wanita hamil tujuh bulan.
• ¬Tajak tanah, mandi kebanyu yaitu pada saat bayi berumur 7 – 30 hari.
• ¬Menurun tanah yaitu pada saat jenazah dikuburkan.
• ¬Pamali adalah larangan
• ¬Batimung adalah acara membersihkan badan calon pengantin
• ¬Menjorah kubur adalah ritual berziarah ke kubur.
• ¬Memajang yaitu mendekorasi rumah dan kamar pengantin.
• ¬Barinjam yaitu ada acara panen padi secara gotong royong.
b. Pedalaman
• Begondang yaitu upacara menerima tamu dengan adat Dayak.
• ¬Barayah yaitu acara belasungkawa untuk mengantar jenazah.
• ¬Potong Balerang yaitu tarian menyambut tamu.
• ¬Domang adalah Pemimpin kampung atau kepala adat.
• Panta panti adalah pantangan
• ¬Babura adalah bersemedi di rumah yang meninggal dunia.
• ¬Badewa yaitu ritual pengobatan secara tradisional dengan menggunakan sesajen.
Aspek Pemerintahan Lokal
Setelah daerah Swapraja Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1050, daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Pada saat di swapraja Kotawaringin telah berdiri beberapa organisasi dan partai politik antara lain :
A. Partai Masyumi
B. Partai Nasional Indonesia (PNI)
C. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)
D. Sarekat Kerja Indonesia (SKI)
E. Badan Pekerja Republik Indonesia (BPRI)
F. Persatuan Wanita Indonesia (Perwani)
Daerah Swapraja Kotawaringin sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka pada waktu itu terpilih : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 91)
a. M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi
b. Ahmad Said dari BPRI
c. Dahlan Abas dari partai Masyumi
d. M. Sahloel dari PNI
e. Gusti M. Sanusi dari PNI
f. Djainuri dari SKI
g. I. Ismail dari Parkindo
Mengenai M. Sahloel karena sesuatu hal tidak dapat hadir sehingga diganti oleh Azhar Mukhtas. Ketujuh orang ini yang mewakili daerah Swapraja Kotawaringin di DPRDS Kabupaten Kotawaringin yang keseluruhannya terdapat 18 kursi. DPRDS ini dilantik tahun 1951, yakni sebelum terbentuknya Propinsi Kalimantan tengah dan masih berada dalam kawasan keresidenan Kalimantan Selatan.
Adapun orang-orang yang pernah menjabat sebagai Wedana / Wakil Kepala Daerah Swapraja Kotawaringin berturut-turut adalah sebagai berikut : (Bappeda. 2004 : 81)
a. Basri. BA
b. Gusti Ahmad
c. M. Saleh
d. Abdul Muis
e. Rozani
f. Syukur
g. C. Mihing
Setelah beberapa tahun berada di bawah kabupaten Kotawaringin, muncullah tuntutan dari Rakyat swapraja Kotawaringin untuk memisahkan diri dan menghapus Swapraja menjadi kabupaten yang baru. Tuntutan ini disampaikan dalam sidang Pertama DPRDS tahun 1955 oleh wakil-wakil dari swapraja Kotawaringin, dengan mengajukan mosi tanggal 21 Juni 1955 yang ditandai tangani oleh : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 93).
a. Dahlan Abas
b. Abdullah Mahmud
c. Azhar Mukhtas
d. Ahmad Said
e. Djainuri
f. Gusti. M. Sanusi
Mosi tersebut disetujui hingga keluarlah keputusan DPRDS melalui resolusi tanggal 30 Juni 1955 No. A – 21 – 12 – dpr – 55 yang disampaikan kepada : (Bappeda, 2004 : 88)
a. Menteri Dalam Negeri Jakarta.
b. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
c. Residen Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
d. Bupati / Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin di Sampit.
Setelah adanya peninjauan dari pusat, maka keluarlah undang-undang No : 27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dengan ibukotanya Sampit dan Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibukotanya Pangkalan Bu’un yang Akhirnya berubah nama menjadi Pangkalan Bun, yang pada saat itu telah menjadi bagian Propinsi Kalimantan tengah, dan diresmikan tanggal 3 Oktober 1959 dan mengangkat C. Milling menjadi Bupati Pertama kabupaten Kotawaringin Barat.
Untuk kelengkapan badan-badan / lembaga-lembaga dalam pemerintahan daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dengan lahirnya Pen.Pres.No : 5/6 tahun 1960 dan berdasarkan S.K. Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Maret 1960. No : 35-PD-I-1960 diangkatlah 4 orang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) yang terdiri dari : (Bappeda, 2004 : 89)
a. Gusti. M. Sanusi
b. Lie Sian Bang
c. Ishak Permana
d. Djainuri
Badan ini berfungsi untuk membantu tugas Bupati dalam pemerintahan.
Melalui S.K. Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Oktober 1960 No0 : okt-317/60/Dprdgr, dibentuklah DPRDGR = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong yang beranggotakan 15 orang sebagai berikut : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 95)
a. J.R. Lama Wakil Ketua Dari PNI
b. P. Arianingrat anggota Dari PNI
c. Said M. Tji anggota Dari NU
d. Abdussukur anggota Dari Seniman
e. A. Kamas anggota Dari PNI
f. LE. Djuang anggota Dari PKI
g. Gst. Abdul Gani anggota Dari NU
h. Said Husin anggota DariAngkatan 45
i. H. Barak anggota Dari Pengusaha Nasional
j. Selma anggota Dari Wanita
k. Ajang Bahan anggota Dari ABRI / POLRI
l. Gst. Kiting anggota Dari Pemuda
m. Gst. Hermansyah anggota Dari NU
n. Mas Karim DW anggota Dari Tani
o. H. A. MAS Alipandi anggota Dari ABRI / AD
Keseluruhan anggota DPRDGR ini dilantik oleh Gubernur Kalimantan Tengah saat itu yaitu Cilik Riwut tanggal 12 Januari 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar